Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Dari Piring, Melawan Perubahan Iklim

Kompas.com, 11 Mei 2025, 19:16 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Dr. Junaid Ali Saeed Rana

KOMPAS.com - Jika ingin hidup sehat sekaligus ramah lingkungan, kamu bisa mulai melakukannya dari hal sederhana: lewat makanan di piringmu.

Riset membuktikan bahwa makanan yang menyehatkan—terutama dari tumbuhan—merupakan pilihan terbaik untuk manusia dan lingkungan.

Jika masyarakat seluruh dunia menjadi vegan, emisi sektor pangan global akan turun hingga 70 persen pada 2050. Di saat yang sama, mengonsumsi makanan sehat (buah, sayuran, dan kacang-kacangan) berpotensi mengurangi berbagai risiko penyakit kronis, seperti diabetes, jantung koroner, dan kolesterol.

Kabar baiknya, penelitian kami menunjukkan tren peningkatan kesadaran dalam mengonsumsi makanan berbasis nabati di Indonesia, terutama di kalangan Milenial dan Gen Z perkotaan. Hanya saja, anak muda yang ingin mengadopsi gaya hidup berkelanjutan ini masih harus menghadapi sejumlah tantangan, seperti harga mahal, akses terbatas, greenwashing, dan kurangnya informasi.

Kenapa makanan nabati lebih rendah karbon?

Produksi makanan dari tumbuhan umumnya membutuhkan sumber daya dan energi yang jauh lebih sedikit dibandingkan makanan hewani, sehingga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan lebih rendah.

Contohnya produksi daging membutuhkan lahan yang luas untuk menanam pakan ternak dan merumput. Emisi terbesar berasal dari kotoran ternak yang mengandung metana—gas ini memiliki dampak pemanasan global 84 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida (CO2) dan bisa bertahan selama 20 tahun.

Sebaliknya, limbah dari tanaman lebih mudah dikelola dan memiliki dampak lingkungan lebih rendah. Menanam pangan nabati dengan sistem yang baik, bahkan bisa meningkatkan kesuburan tanah.

Dengan kata lain, mengonsumsi lebih banyak makanan dari tumbuhan bisa berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

Makanan sehat berkelanjutan jadi kesadaran baru

Riset yang saya lakukan bersama tim menunjukkan bahwa Milenial dan Gen Z makin menyadari bahwa makanan yang mereka konsumsi enggak cuma berdampak buat kesehatan, tetapi juga Bumi.

Penelitian kami berlangsung antara April hingga Juli 2023 di tiga restoran sehat hits di Jakarta: SNCTRY, SaladStop!, dan Burgreens. Restoran-restoran ini kami pilih karena menyajikan makanan sehat sekaligus mengedepankan prinsip keberlanjutan dalam bahan baku dan bisnis mereka.

Kami meneliti 210 responden berusia 18–42 tahun yang pernah makan di restoran tersebut. Hasilnya, mereka yang memilih makanan sehat cenderung lebih sadar lingkungan.

Penelitian kami menunjukkan, kesadaran akan kesehatan berkontribusi 65,3 persen terhadap pola konsumsi makanan berkelanjutan. Artinya, semakin peduli seseorang terhadap kesehatannya, semakin besar kemungkinan mereka memilih makanan yang lebih ramah lingkungan.

Selain itu, faktor kepercayaan berperan besar. Sebanyak 39,7 persen variasi pola konsumsi berkelanjutan ditentukan oleh kepercayaan konsumen. Artinya, semakin transparan sebuah brand soal bahan makanan dan proses produksinya, semakin tinggi kemungkinan pelanggan membeli produk nabati tersebut.

Baca juga: Investasi Pangan Terancam, Kerugian akibat Iklim Bisa Capai 38 Triliun Dollar AS

Kesadaran ini juga didorong oleh media sosial dan influencer yang aktif mempromosikan pola makan berbasis nabati. Ditambah, makin banyak bisnis makanan yang sadar lingkungan dan menjadikan keberlanjutan sebagai nilai jual mereka.

Tantangan di balik gaya hidup sehat dan berkelanjutan

Sayangnya, tidak semua orang bisa dengan mudah beralih ke pola makan berkelanjutan, terutama anak muda. Ada beberapa tantangan yang masih jadi kendala utama:

  • Harga lebih mahal: Makanan organik dan produk berkelanjutan sering kali lebih mahal dibanding makanan biasa. Sementara itu, daya beli kalangan muda umumnya masih rendah.
  • Akses terbatas: Produk organik dan berkelanjutan masih sulit ditemukan di pusat perbelanjaan biasa, membuat opsi ini kurang praktis.
  • Greenwashing: Banyak brand mengklaim produknya ramah lingkungan, padahal kenyataannya tidak sepenuhnya begitu. Hal ini membuat publik ragu dengan jaminan keberlanjutan produk.
  • Kebiasaan makan yang sulit diubah: Makanan tradisional kita kebanyakan berbasis daging dan minyak, jadi butuh waktu buat menyesuaikan diri.
  • Kurangnya informasi yang akurat: Banyak orang masih bingung memilih mana makanan yang benar-benar berkelanjutan.

Kepercayaan konsumen: Kunci perubahan industri makanan

Mayoritas konsumen di masa depan adalah anak muda, yang kini makin kritis dalam memilih makanan yang mereka beli. Oleh karena itu, perusahaan makanan yang ingin bertahan hingga masa depan harus lebih transparan agar mendapatkan kepercayaan dan menarik minat pelanggan muda.

Beberapa strategi yang bisa diterapkan bisnis makanan, antara lain:

  • Transparansi rantai pasok: Beri tahu konsumen dari mana bahan makanan berasal, apakah organik, dan bagaimana proses produksinya.
  • Label yang jelas dan kredibel: Pastikan produk memiliki sertifikasi keberlanjutan yang diakui.
  • Kemitraan dengan influencer dan aktivis lingkungan: Tingkatkan kesadaran konsumen lewat konten edukatif yang relatable di media sosial.
  • Kampanye edukasi: Bantu konsumen memahami pentingnya makanan berkelanjutan.
  • Harga yang lebih terjangkau: Pastikan makanan berkelanjutan bisa diakses lebih banyak orang, bukan hanya kalangan tertentu.

Selain para pebisnis yang harus berbenah, pemerintah juga perlu menyiapkan regulasi yang jelas mengenai pelabelan makanan, serta memberikan subsidi insentif bagi bisnis berkelanjutan. Sementara konsumen harus meningkatkan literasi pangan serta aktif mendukung merek-merek ramah lingkungan sembari menuntut transparansi dari perusahaan-perusahaan makanan.

Milenial dan Gen Z berperan besar dalam perubahan ini. Dengan kesadaran penuh mengenai dampak kesehatan dan keberlanjutan lingkungan, keputusan kecil kita dalam mengubah pola makan bisa membentuk industri makanan yang lebih bertanggung jawab sebagai normal baru, sekaligus menciptakan masa depan yang lebih hijau.

Jadi, sudah siap memulai perjalanan makan sehat berkelanjutan kamu?

*Dean of Faculty of IT and Business, University of Jakarta International

Dr. Evi Susanti, S.E., M.M. selaku Associate Professor dan Head of Quality Assurance University of Jakarta International (UNIJI) bersama Thalia Agustina dari Jurusan Manajemen UNIJI berkontribusi dalam penelitian ini.

Baca juga: Wahana Visi Indonesia Luncurkan Program Ketahanan Pangan di Asmat

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Pemerintah
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Pemerintah
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
LSM/Figur
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pemerintah
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Pemerintah
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Pemerintah
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
LSM/Figur
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
LSM/Figur
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
Pemerintah
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
LSM/Figur
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
Pemerintah
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
Pemerintah
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
LSM/Figur
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau