Selain lapar energi, kini dunia makin panas. Badan pemantau iklim yang didirikan Uni Eropa, Copernicus Change Servive (C3S) melaporkan, suhu rata-rata tahun 2024 telah melampaui 1,5 derajat celcius jika dibandingkan masa pra-revolusi industri. Ini alarm tanda bahaya.
Toleransi kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celcius adalah batas tertinggi yang tak boleh dilampaui menurut Perjanjian Paris 2015 yang mengikat 196 negara. Sekarang batas itu jebol juga.
Rekor suhu itu menyumbang secara signifikan terhadap kenaikan tahunan emisi karbondioksida (CO2) global sebesar 0,8 persen. Walhasil emisi CO2 pun melesat menjadi 37,8 miliar ton.
Tahun ini adalah satu dekade Perjanjian Paris. Saatnya bangsa manusia merenungi kembali tekad bersama yang dicetuskan di Paris, Perancis itu untuk merawat bumi agar tetap layak dihuni.
Baca juga: Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar
Sudahkah kita dalam rute yang sama untuk menahan suhu planet tidak meledak atau melampaui batas toleransi yang ditetapkan di Paris tahun 2015?
Apakah negara-negara bumi, entah itu blok Utara (maju dan sejahtera) serta blok Selatan (miskin, terbelakang dan berkembang) masih satu hati dalam memangkas emisi gas rumah kaca?
Apakah kepentingan negara-negara di bawah kolong langit ini atas ketahanan energi, tidak menggoda mereka untuk kembali mengeksploitasi energi fosil?
Sebesar apa tekad dan ambisi negara-negara di bagian Utara, Selatan, Timur dan Barat menjalankan transisi ke energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan?
Untuk mencari jawabannya, mari memperhatikan tanda-tanda. Pertama, di tahun kesepuluh Perjanjian Paris ini, tampak ada perlombaan "tarik tambang" antara dua kubu yang saling bertolak belakang.
Satu pihak, yang dahulu dianggap sebagai penarik gerbong perubahan, yakni Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump keluar dari Perjanjian Paris.
Bukan itu saja, Donald Trump menabuh genderang gerakan mengeksploitasi kembali energi fosil--minyak, gas dan batu bara.
"We will drill baby, drill," begitu seruannya yang diulangi lagi saat Trump dilantik menjadi presiden Amerika Serikat, 20 Januari 2025.
Barisan lain, yakni negara mayoritas yang terikat Perjanjian Paris, tapi tanpa pemimpin berada dalam situasi ambigu dan gamang: Menunggu dan melihat arah angin atau terus setia menjalankan agenda yang tertuang dalam Perjanjian Paris.
Untuk menyaksikan keseriusan negara-negara di dunia menjalankan aksi dan mitigasi iklim adalah dengan mencermati Nationally Determined Contribution (NDC).
Baca juga: Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi
Ini adalah dokumen yang berisi komitmen negara-negara penandatangan Perjanjian Paris menuliskan tekad dan ambisi mereka memangkas gas rumah kaca secara periodik atau berkala.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya