Dokumen itu wajib diperbarui sehingga kontribusi saban negara terlacak. Dengan cara itu dapat diketahui apakah sebuah negara sungguh-sungguh ingin mewujudkan nol emisi (Net Zero Emmission) pada 2050 sebagaimana dikehendaki banyak negara.
Namun itu masalahnya. Ini poin kedua. Sampai 5 Mei 2025, baru 20 negara yang telah menyerahkan target NDC 2035. Sementara 173 negara belum menyerahkan dokumen NDC terbaru berdasarkan pelacakan oleh Climate Action Tacker (CAT).
Padahal tenggatnya bulan Februari lalu. Ini menjelaskan bahwa mayoritas negara peneken Perjanjian Paris sedang berlomba menunda menyerahkan dokumen superpenting dalam menurunkan emisi gas rumah kaca tadi.
China dan Indonesia termasuk ke dalam barisan yang menunda itu. Amerika Serikat, menurut CAT, sudah menyerahkan dokumen NDC 2.0 dengan target penurunan emisi sebesar 66 persen.
Sialnya ambisi yang diterbitkan di masa Presiden Joe Biden itu dimentahkan oleh Donald Trump yang untuk kali kedua keluar dari Perjanjian Paris.
Sejauh ini, China merupakan kontributor terbesar atau nomor satu emisi karbon global. Kabar baiknya, tahun ini, China bertekad segera keluar dari masa puncak emisi karbon.
Seterusnya, China menjanjikan pengurangan konsumsi batu bara mulai tahun 2026, serta menggeber kapasitas listrik dari energi surya dan energi angin hingga 1,2 miliar kilowatt.
Tetenger China pindah haluan menyangkut energi dan iklim, menurut Friedman, mencuat pada 1 Januari 2006. Ini titik balik di mana negeri komunis itu berubah dari "China Merah" menjadi "China Hijau" (mengadaptasi konsep green dan keberlanjutan).
Saat itu, China melembagakan mandat energi terbarukan nasional yang meminta pemerintah provinsi mengembangkan dan melaksanakan proyek-proyek energi terbarukan di wilayah masing-masing. Yang digeber antara lain energi angin, air dan biomassa.
Sekarang China mendulang hasilnya. Tak heran jika produksi energi surya negeri Panda ini menembus 228 gigawatt atau lebih besar dari gabungan seluruh negara. Belum lagi energi angin yang telah mencapai 310 gigawatt.
Namun, di luar penetrasi energi surya dan energi angin yang mencengangkan tadi, 70 persen listrik China masih dipasok oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang melahap batu bara. Kasus China adalah gambaran umum kondisi global.
Sungguh pun begitu, tetap ada yang harus disyukuri dari negeri dengan populasi terbesar di planet bumi ini, yakni komitmen China melanjutkan Perjanjian Paris 2015.
Karena itu, dunia tengah menunggu target NDC 2035 dari China. Seambisius apa Xi Jinping dalam membawa negerinya memimpin aksi iklim global.
Sebelumnya, dalam target NDC 2030, China bertekad memangkas emisi karbon antara 60-65 persen di tahun 2030.
Sejauh ini negara asal muasal revolusi industri, yakni Inggris, terdepan dengan target mengurangi emisi karbon hingga 81 persen tahun 2035. Ini melonjak signifikan dibandingkan NDC sebelumnya (tahun 2030) yang sebesar 68 persen.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya