DI TENGAH gelombang arus global tentang pentingnya Environmental, Social, and Governance (ESG), hampir semua perusahaan besar kini berlomba menunjukkan komitmennya. Mulai dari laporan keberlanjutan, target emisi nol bersih, hingga program tanggung jawab sosial.
Namun, ada satu aktor utama ekonomi Indonesia yang nyaris tak tersentuh dalam narasi ESG: UMKM.
Padahal, menurut data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), pada tahun 2023 jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai sekitar 66 juta, dengan kontribusi 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 9.580 triliun.
Tidak hanya itu, UMKM juga menyerap 117 juta pekerja, setara 97 persen dari total tenaga kerja nasional. Angka ini menunjukkan bahwa keberlanjutan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada keberlangsungan UMKM.
Baca juga: Isu Merger GoTo-Grab dan Kekhawatiran Data Jutaan Warga Indonesia
Namun, sebagian besar pelaku UMKM bahkan tidak pernah mendengar istilah ESG, apalagi menerapkannya dalam operasional usaha mereka.
Dalam kegiatan kami bersama Temu Ide di berbagai daerah, kami menjumpai kenyataan yang kontras.
Saat dunia bisnis ramai membahas dekarbonisasi dan ekonomi hijau, pelaku UMKM justru masih berkutat pada soal-soal mendasar: keterbatasan modal, produk yang stagnan, pemasaran digital yang minim, bahkan akses internet yang belum memadai.
Di beberapa desa wisata, sinyal belum stabil. Bagaimana mungkin mereka bisa menjalankan bisnis digital, apalagi menerapkan ESG?
Dukungan pemerintah sering kali terbatas—bukan karena niat, tetapi karena anggaran pembinaan yang kecil dan tidak berkelanjutan.
Pelatihan inkubasi UMKM seringkali tidak konsisten, terputus di tengah jalan. Dalam kondisi seperti ini, ESG terasa seperti wacana kelas atas yang tidak relevan bagi pelaku usaha mikro.
Lebih jauh, beberapa standar keberlanjutan justru menjadi beban baru. Misalnya, sertifikasi lingkungan atau bahan ramah lingkungan yang mahal dan sulit dijangkau, menjadikan UMKM kerap tertinggal dari rantai pasok industri besar.
ESG seharusnya tidak menjadi beban tambahan, tetapi kerangka yang memampukan UMKM bertumbuh lebih sehat dan adil.
Untuk itu, pendekatan ESG perlu dimaknai ulang—berbasis komunitas, konteks lokal, dan kebutuhan nyata pelaku usaha.
Di Subang, misalnya, kami mendampingi pengrajin tempurung kelapa yang mengolah limbah menjadi kerajinan tangan.
Kegiatan ini tidak masuk laporan ESG manapun, tapi sejatinya sudah mencerminkan prinsip ekonomi sirkular.
Baca juga: Generasi Z Resign: Kombinasi Beban Kerja, Stres, dan Minimnya Dukungan Sosial
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya