Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/05/2025, 08:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

SUMBA TENGAH, KOMPAS.com - Sehabis pukul 17.10 Waktu Indonesia Tengah (Wita) Jumat (9/5/2025), malam perlahan turun menyelimuti Pulau Sumba. Langit yang tadinya cerah, sedikit demi sedikit berubah menjadi gelap.

Di Desa Mata Redi, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), satu per satu warga mulai menyalakan lampu di rumahnya. Pancaran lampu bersinar dari rumah-rumah yang jaraknya saling berjauhan.

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga 2022, kampung di pelosok tengah Pulau Sumba ini masih diliputi gelap gulita bila malam tiba.

Baca juga: Bali Punya PLTS Atap Berkapasitas 10,9 GW tapi Pemanfaatannya Baru 1 Persen

Tak ada satu pun nyala lampu yang memancar dari setiap rumah. Apalagi di jalan. Gelap menjadi makanan sehari-hari. Pelita yang menjadi andalan satu-satunya tak bisa dibiarkan terlalu lama menyala.

"Dulu waktu belum ada listrik, kami sangat menanti-nanti kapan ada listrik, kapan ada listrik" kata Jeni Rambu Leki Nguju warga Dusun IV Desa Mata Rendi saat ditemui wartawan.

Mama Jeni, sapaannya, masih ingat betul bagaimana sulitnya hidup tanpa listrik. Sebagai pemilik toko kelontong, dia harus menutup usahanya tiap pukul 18.30 malam.

Tiap malam pula, anaknya yang berjumlah lima orang harus berebutan pelita untuk belajar. Bila ada pekerjaan rumah (PR), riuh suara saling rebut pelita makin kencang lagi.

Ketika pagi, tak jarang hidung Mama Jeni sekeluarga dihinggapi jelaga karena nyala pelita semalaman. Belum lagi repotnya harus bolak-balik membeli minyak tanah di pasar.

Tak jarang dia mengeluarkan uang sampai Rp 100.000 dalam satu bulan hanya untuk membeli minyak tanah. Bila tumpah, anggaran yang dikeluarkan untuk menebus minyak tanah bisa lebih besar lagi.

Baca juga: Proyek PLTS Aslan di Batam Diklaim Bisa Ciptakan 2.000 Pekerjaan

Namun kini, rumah Mama Jeni tak gelap lagi. Dia dan warga desa lainnya bisa menikmati terangnya lampu setelah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mengalirkan listrik ke rumah-rumah warga sejak tiga tahun lalu.

Dia pun hanya perlu mengeluarkan iuran listrik sebesar Rp 50.000 per bulan yang disetorkan ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Hali Dewa milik Desa Mata Rendi.

"Dengan adanya PLTS ini kami sangat bersyukur. Anak-anak bisa belajar tanpa rebutan pelita. Sampai jam 22.00 malam kalau orang beli, kami punya lampu terang to. Mereka bisa beli meski sudah malam," ujar Mama Jeni.

PLTS tersebut merupakan hibah dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.

Total ada dua ladang PLTS masing-masing berkapasitas 60 kilowatt-peak (kWp) dan 35 kWp dengan anggaran mencapai Rp 16 miliar untuk memasok listrik ke 234 rumah yang tersebar di empat dusun.

"Sekarang Mata Rendi sudah terang. Mata Rendi terang, masyarakatnya terang otak," ujar Mama Jeni.

Baca juga: Instalasi PLTS Global Diprediksi Tembus 1TW per Tahun di 2030

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau