Penulis
SUMBA TENGAH, KOMPAS.com - Sehabis pukul 17.10 Waktu Indonesia Tengah (Wita) Jumat (9/5/2025), malam perlahan turun menyelimuti Pulau Sumba. Langit yang tadinya cerah, sedikit demi sedikit berubah menjadi gelap.
Di Desa Mata Redi, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), satu per satu warga mulai menyalakan lampu di rumahnya. Pancaran lampu bersinar dari rumah-rumah yang jaraknya saling berjauhan.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga 2022, kampung di pelosok tengah Pulau Sumba ini masih diliputi gelap gulita bila malam tiba.
Baca juga: Bali Punya PLTS Atap Berkapasitas 10,9 GW tapi Pemanfaatannya Baru 1 Persen
Tak ada satu pun nyala lampu yang memancar dari setiap rumah. Apalagi di jalan. Gelap menjadi makanan sehari-hari. Pelita yang menjadi andalan satu-satunya tak bisa dibiarkan terlalu lama menyala.
"Dulu waktu belum ada listrik, kami sangat menanti-nanti kapan ada listrik, kapan ada listrik" kata Jeni Rambu Leki Nguju warga Dusun IV Desa Mata Rendi saat ditemui wartawan.
Mama Jeni, sapaannya, masih ingat betul bagaimana sulitnya hidup tanpa listrik. Sebagai pemilik toko kelontong, dia harus menutup usahanya tiap pukul 18.30 malam.
Tiap malam pula, anaknya yang berjumlah lima orang harus berebutan pelita untuk belajar. Bila ada pekerjaan rumah (PR), riuh suara saling rebut pelita makin kencang lagi.
Ketika pagi, tak jarang hidung Mama Jeni sekeluarga dihinggapi jelaga karena nyala pelita semalaman. Belum lagi repotnya harus bolak-balik membeli minyak tanah di pasar.
Tak jarang dia mengeluarkan uang sampai Rp 100.000 dalam satu bulan hanya untuk membeli minyak tanah. Bila tumpah, anggaran yang dikeluarkan untuk menebus minyak tanah bisa lebih besar lagi.
Baca juga: Proyek PLTS Aslan di Batam Diklaim Bisa Ciptakan 2.000 Pekerjaan
Namun kini, rumah Mama Jeni tak gelap lagi. Dia dan warga desa lainnya bisa menikmati terangnya lampu setelah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mengalirkan listrik ke rumah-rumah warga sejak tiga tahun lalu.
Dia pun hanya perlu mengeluarkan iuran listrik sebesar Rp 50.000 per bulan yang disetorkan ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Hali Dewa milik Desa Mata Rendi.
"Dengan adanya PLTS ini kami sangat bersyukur. Anak-anak bisa belajar tanpa rebutan pelita. Sampai jam 22.00 malam kalau orang beli, kami punya lampu terang to. Mereka bisa beli meski sudah malam," ujar Mama Jeni.
PLTS tersebut merupakan hibah dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.
Total ada dua ladang PLTS masing-masing berkapasitas 60 kilowatt-peak (kWp) dan 35 kWp dengan anggaran mencapai Rp 16 miliar untuk memasok listrik ke 234 rumah yang tersebar di empat dusun.
"Sekarang Mata Rendi sudah terang. Mata Rendi terang, masyarakatnya terang otak," ujar Mama Jeni.
Baca juga: Instalasi PLTS Global Diprediksi Tembus 1TW per Tahun di 2030
Warga melintasi ladang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. Dalam program Mentari, hibah PLTS tersebut tidak serta merta dipasang lalu ditinggal. Ada BUMDes yang bernama Hali Dewa yang dibentuk di desa tersebut sebagai lembaga yang mengelola dan merawatnya.
Ada pula teknisi dari masyarakat lokal yang digaji BUMDes dan dibekali kemampuan untuk merawat serta melakukan penanganan jika ada masalah.
Pengelolaan PLTS memang sengaja dipasrahkan kepada BUMDes agar bisa dikelola secara swadaya dan mandiri oleh masyarakat setempat.
Direktur BUMDes Hali Dewa Yanti Sada Mura mengatakan, nama tersebut dipilih karena ada arti yang sangat medalam. Di Mata Rendi, hali dewa artinya "tangisan jiwa".
Dia mengatakan, nama itu mencerminkan betapa rindunya warga Desa Mata Rendi akan kehadiran listrik yang tak kunjung datang. Kini, "tangisan jiwa" tersebut bak terobati setelah hadirnya PLTS.
"Kami menantikan listrik sudah begitu lama," ujar Yanti.
Kepala Desa Mata Rendi Adrianus Umbu Ratua bercerita, dia sebetulnya sudah mengajukan instalasi jaringan listrik PLN berulang kali. Akan tetapi, sebanyak apa pun usul dia lontarkan, sebanyak itu pula permintaannya dimentahkan.
Baca juga: Tagihan Listrik Melonjak, Warga Spanyol Ramai-ramai Pasang PLTS Atap
"Memang sebelum itu, kami lewat (berbagai) musyawarah itu tidak pernah bosan-bosan kami usulkan terkait masalah kelistrikan," ujar Adrianus.
Dia menambahkan, pihak pemerintah daerah sempat mengusulkan agar Pemerintah Desa Mata Rendi menganggarkan dana desa untuk membangun pembangkit listrik.
Namun, Adrianus dengan gamblang menyatakan, anggaran dana desa tidak akan mampu bila menutupi semua kebutuhan untuk membangun pembangkit hingga memasang jaringan listrik.
Di sisi lain, Desa Mata Rendi bertetangga dengan Desa Mata Woga. Meski bertetangga, Desa Mata Woga sudah teraliri listrik PLN sejak 2010.
"Kami sering mendorong pemerintah untuk adakan listrik, tetapi sesering itu pula tidak ada kepastian, tidak ada jawaban. Kami terus gelap dan mengandalkan pelita untuk penerangan," kata Adrianus.
Kini, listrik yang menerangi Mata Redi bukan sekadar memberi cahaya di kala malam. Ada berbagai program pemberdayaan masyarakat yang muncul setelah listrik hadir dari PLTS.
Program pemberdayaan yang ada meliputi pembuatan minyak serai wangi, minyak kemiri, hingga pelatihan pertukangan kayu. Lagi-lagi, BUMDes Hali Dewa menjadi gawang utama pemberdayaan masyarakat.
Baca juga: PLN dan Perusahaan UEA Perluas Kerja Sama Pengembangan PLTS Terapung
Penampakan atas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah PLTS dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. Demonstration Strand Lead Mentari Dedy Haning mengatakan, keterlibatan masyarakat menjadi kunci kesuksesan PLTS tersebut bisa berjalan selama ini.
Di samping itu, masyarakat juga perlu diberi pendampingan untuk mengelola dan merawat pembangkit yang telah diberikan.
"Apa pun programnya. Kalau enggak ada pendampingan dari masyarakat, sama saja," ujar Dedy.
Bahkan, ada dua warga lokal yang dipercaya menjadi teknisi PLTS. Mereka diberi pelatihan dan telah mengantongi sertifikat keahlian vokasi sebagai teknisi.
Dedy menjelaskan, program Mentari terbagi menjadi tiga pilar pendampingan yang berjalan selama lima tahun lamanya.
Baca juga: China Berencana Bangun PLTS di Luar Angkasa, Bisa Terus Panen Energi Matahari
Tahun pertama adalah pelatihan dan edukasi kepada masyarakat. Tahun kedua dan ketiga adalah co-creation atau kolaborasi yang melibatkan semua elemen masyarakat. Terakhir, tahun keempat dan kelima adalah mentoring.
Dia menuturkan, rasa memiliki PLTS sebenarnya sudah dipupuk di antara warga sejak tahun pertama program dimulai.
Meski penuh perjalanan yang berliku, PLTS tersebut sudah berjalan selama lima tahun dan akan dilepaskan pendampingannya dalam waktu dekat, pada Juli.
"Tapi orang enggak sadar sampai tahun ketiga. Melalui berbagai masalah yang dilewati, mereka akan terpupuk rasa memiliki," papar Dedy.
Di bawah temaram pancaran sinar lampu, Mama Jeni dengan sorotnya yang tajam menegaskan bahwa dirinya dan segenap warga Mata Rendi berniat untuk menjaga dan merawat PLTS tersebut.
"Kami mau jaga. Kami tak mau kembali ke gelap lagi," pungkasnya.
Baca juga: Pertama di Indonesia, PLTS dengan Baterai dalam Kontainer Dibangun di Jambi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya