Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/05/2025, 07:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

 

SUMBA TENGAH, KOMPAS.com - Tak sedikitpun teprikir di benak Yanti Sada Mura (49) menjadi pemimpin sebuah badan usaha. Hari itu, Jumat (9/5/2025), dia meraup suara mayoritas dan terpilih menjadi Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Hali Dewa di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Yanti mengalahkan nama-nama pria untuk memimpin BUMDes yang mengelola pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 60 kilowatt-peak (kWp) dan 35 kWp.

Yanti tertegun. Bagaimanapun, perolehan suara tersebut menggambarkan satu hal: warga percaya dia bisa menakhodai unit usaha milik desa yang mengelola aset senilai miliaran rupiah. Baginya, itu adalah kepercayaan yang mau tak mau harus dia emban.

Baca juga: Membangun PLTS Bukan Sekadar Dipasang lalu Ditinggal

"Bukan berarti saya bangga dengan saya terpilih, saya masih butuh dukungan. Jadi, jangan lihat saya sebagai perempuan. Kita harus bekerja bersama-sama," kata Yanti dalam pidatonya usai pemilihan.

Setelah terpilihnya Yanti, dia harus langsung tancap gas mengelola PLTS hibah dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia tersebut, yang berdiri sejak 2022.

"Saya punya komitmen kalau boleh BUMDes sekarang lebih berubah lagi," kata Yanti kepada wartawan.

Selain memberikan PLTS yang melistriki 234 warga, program Mentari juga memberikan pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan.

Salah satu upaya pemberdayaannya adalah pengolahan serai wangi dan minyak kemiri. Peralatan penyulingan dan pembuatan minyak pun ditenagai oleh listrik dari PLTS yang ada.

Baca juga: Bali Punya PLTS Atap Berkapasitas 10,9 GW tapi Pemanfaatannya Baru 1 Persen

Melalui pemberdayaan itulah, PLTS tak hanya memberikan listrik kepada warga yang sebelumnya belum pernah teraliri listrik, melainkan juga turut membuka peluang ekonomi yang baru bagi warga.

Sebelum ditunjuk menjadi Direktur BUMDes, Yanti adalah anggota kelompok wanita tani (KWT) Desa Mata Rendi yang terlibat aktif dalam program pemberdayaan. Yanti juga aktif dalam setiap pertemuan dan musyawarah desa.

Kemampuan Yanti dalam berdialog dan berbicara di depan umum terasah di sana. Padahal sebelumnya, berbicara di depan umum saja, suara Yanti bergetar.

"Sekarang saya ingin BUMDes lebih produktif lagi. Mungkin saya punya ide juga selain dari unit usaha yang ada," papar Yanti.

Baca juga: Lama Menanti Listrik, Tangisan Jiwa Itu Akhirnya Terobati

Tak lagi repot

Penampakan atas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah PLTS dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. PROGRAM MENTARI Penampakan atas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah PLTS dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.

Guru perempuan yang mengajar di SD Inpres Gallu Madamu, Piras Rija Wada (28), mengaku kini dia tak perlu repot lagi turun ke kota dan menempuh waktu 30 menit hanya untuk mencetak atau memfotokopi berbagai keperluan administrasi sekolah.

Kehadiran listrik dari PLTS telah sangat membantunya sebagai guru dalam mengajar siswa. Terkadang, dia memanfaatkan proyektor sebagai sarana mengajar yang menarik.

Dengan adanya listrik, semangatnya untuk mengajar siswa semakin bertambah karena berbagai urusannya telah dipermudah.

"Kalau ada listrik sekarang mudah. Ada praktik-praktik, ada ujian-ujian yang penting, itu bisa membantu," papar Ira, sapaannya.

Berbeda dari Yanti dan Ira, Jeni Rambu Leki Nguju sebagai pengusaha wanita lokal merasa senang kehadiran PLTS membuat toko kelontongnya bisa buka lebih malam.

Baca juga: Instalasi PLTS Global Diprediksi Tembus 1TW per Tahun di 2030

Mama Jeni, sapaannya, masih ingat betul bagaimana sulitnya hidup tanpa listrik. Sebagai pemilik toko kelontong, dia harus menutup usahanya tiap pukul 18.30 malam karena gelap gulita.

"Sekarang, sampai jam 22.00 malam pun kalau orang beli, kami punya lampu terang. Mereka bisa beli meski sudah malam," ujar Mama Jeni.

Dari pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada warga, Mama Jeni juga turut merasakan dampaknya sebagai tambahan sampingan.

Mama Jeni menegaskan bahwa dirinya dan segenap warga Mata Rendi berniat untuk menjaga dan merawat PLTS tersebut.

"Kami mau jaga. Kami tak mau kembali ke gelap lagi," paparnya.

Baca juga: Pemerintah Bakal Bangun PLTS Terapung Saguling Lewat JETP

Kikis ketimpangan

Warga melintasi ladang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. PROGRAM MENTARI Warga melintasi ladang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (9/5/2025). Desa Mata Redi mendapat hibah berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari program bernama Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia.

Gender and Inclusion Demonstration Project Strand Mentari Rita Kefi menyampaikan, program pemberdayaan perempuan di sana lahir karena adanya ketimpangan gender yang sangat kuat. Banyak perempuan yang nyaris tak memiliki ruang bersuara atau mengambil keputusan.

Oleh karenanya, Mentari membuat strategi intervensi berbasis gender dan inklusif. Salah satunya adalah mengikutsertakan berbagai elemen dalam setiap pertemuan seperti perempuan, lansia, hingga pemuda.

Akan tetapi, upaya tersebut rupanya tak mudah. Resistensi terhadap peran perempuan terus mengemuka.

"Waktu ada perempuan bicara di forum, laki-lakinya bilang, 'silakan bicara, tapi tetap suara kami yang dipakai'," papar Rita.

Baca juga: PLN dan Perusahaan UEA Perluas Kerja Sama Pengembangan PLTS Terapung

Namun, dengan kegigihan dan semangat pantang menyerah, sekat gender tersebut perlahan terkikis. Para perempuan di sana akhirnya semakin lantang bersuara dan tak ketinggalan dalam setiap musyawarah desa.

Suara-suara mereka mulai didengar dan dihargai. Dampak paling nyata terlihat dari munculnya pemimpin perempuan seperti Yanti.

"Dulu ia bahkan gemetar saat diminta bicara. Kini, dia jadi sosok yang disegani dan didengarkan di forum-forum desa," terang Rita.

Rita menegaskan, perubahan-perubahan tersebut menunjukkan hasil yang menggembirakan untuk mengangkat derajat perempuan di Desa Mata Redi.

Baca juga: Pengembangan Energi Terbarukan Pecahkan Rekor Lagi, PLTS Paling Banyak

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau