JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, meminta kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas (migas) ikut bergabung dalam proyek penyimpanan karbon atau Carbon, Capture, and Storage (CCS).
Dirinya menyatakan, potensi penyimpanan karbon di Indonesia mencapai 572,77 gigaton untuk saline aquifer (akuifer yang airnya asin) dan 4,85 gigaton di depleted reservoir (akuifer yang airnya habis). Apabila telah terbangun, hal itu menempatkan Indonesia menjadi negara dengan CCS terbesar di Asia Pasifik.
"Saat ini dunia selalu berpikir tentang membangun industrialisasi dengan pendekatan green energy dan green industry. Salah satu di antaranya untuk mewujudkannya adalah bagaimana menangkap carbon capture-nya, CO2-nya," ujar Bahlil dalam keterangannya, Jumat (23/5/2025).
Baca juga: Investasi CCS yang Masuk Indonesia Capai Rp 640,79 triliun
Dia menyebut, regulasi terkait CCS tercantum dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM. Bahlil memastikan bahwa pemerintah memberikan kemudahan bagi investor, untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi pengembangan industri.
"Aturannya sudah kami buat dan saya tawarkan kepada bapak Ibu semua. Silakan masuk. Lebih cepat, lebih baik. Kami kasih sedikit relaksasi sweetener. Tapi kalau sudah booming baru masuk, sweetener-nya tidak akan sebaik sekarang," ucap Bahlil.
Pemerintah telah menerbitkan 30 izin pemanfaatan data kepada 12 kontraktor untuk mendukung pelaksanaan studi CCS serta Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) di berbagai wilayah Indonesia periode 2021-2024.
Studi itu mencakup 19 lokasi antara lain Lapangan Arun, Corridor, Sakakemang, Betung, Ramba, Asri Basin, ONWJ, Jatibarang, Gundih, Sukowati, Abadi, CSB, Gemah, South Natuna Sea Block B, East Kalimantan, Refinery Unit V Balikpapan, Blue Ammonia, Donggi Matindok, hingga Lapangan Tangguh di Bintuni, Papua.
Baca juga: PLTU Paiton Didorong Terapkan Co-firing Biomassa hingga CCS
Untuk diketahui, CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menangkap karbondioksida (CO2) dari sumber-sumber emisi. Kemudian diangkut dan disimpan pada tempat penyimpanan jangka panjang, seperti di bawah tanah.
Sementara CCUS merupakan pengembangan dari CCS, yang tidak hanya menyimpan CO2, tetapi juga memanfaatkannya sebagai sumber baru.
Sejauh ini, dua perusahaan multinasional tengah bersiap membangun fasilitas CCS di Indonesia. Staf Khusus Dewan Energi Nasional bidang Energi dan Ekonomi Keberlanjutan, Jodi Mahardi, mengatakan perusahaan itu antara lain British Petroleum (BP) melalui proyek Tangguh dan ExxonMobil bersama PT Pertamina.
"Harapannya sudah ada dua yang sudah bisa memulai ada implementasi (CCS). Satu di BP Tangguh kemudian Exxon dengan Pertamina di Sunda Asri," ungkap Jodi, Kamis (6/3/2025).
Baca juga: Dua Perusahaan Multinasional Bersiap Bangun Fasilitas CCS di Indonesia
Jodi menjelaskan, investasi sudah masuk dan proyek CCS memiliki kerangka waktu yang jelas. Menurut dia, BP juga mulai membangun CCUS.
"Di Tangguh sudah mulai aktivitasnya, yang Sunda Asri pun sekarang harapannya bisa ada di tahun ini ada crystal drilling yang bisa dimulai," tutur Jodi.
Pada tahap awal, ExxonMobil mengucurkan investasi hingga 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp162 triliun untuk mengembangkan proyek CCS dan pabrik petrokimia. Ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh Kemenko Perekonomian dan ExxonMobil, Rabu (22/1/2025).
Sementara, BP memutuskan investasi atas proyek Tangguh Ubadari, CCUS, dan Compression (UCC) senilai 7 miliar dolar AS.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya