Berkat program dan regulasi tersebut, Demak mencatat penurunan angka stunting yang signifikan, dari 35,76 persen pada 2019 menjadi 9,5 persen pada 2023.
Sementara itu, Semarang juga memiliki regulasi berupa PERWALI Nomor 27 Tahun 2022 dengan target penurunan stunting hingga 4 persen pada 2026. Target ini kemudian dipercepat melalui PERWALI Nomor 42 Tahun 2023 dengan target yang sama namun dicapai pada 2024.
Untuk mendukung terwujudnya pencapain itu, Semarang mengembangkan pelayanan pendampingan tumbuh kembang anak lewat aplikasi Sayang Anak IoT Antropometri atau Lional Messi. Masyarakat juga aktif menggandeng sektor usaha dan komunitas dalam penanganan stunting.
“Pendekatan ini berhasil menurunkan angka stunting yang tadinya 26,1 persen secara konsisten sampai tahun 2022,” jelas Aditya.
Namun, Aditya mengingatkan bahwa tantangan ke depan masih besar. Selain pengasuhan yang kurang memperhatikan asupan gizi atau anak-anak yang diasuh oleh kakek-nenek, dampak perubahan iklim terhadap masyarakat pesisir tetap menjadi faktor utama yang menambah kerentanan.
Karena itu, ia mendorong agar strategi adaptasi perubahan iklim dilakukan secara menyatu dengan kebijakan penurunan stunting dan kesehatan masyarakat.
“Penguatan program berbasis komunikasi antar sektor, pembangunan infrastruktur adaptif terhadap perubahan iklim, integrasi teknologi untuk pemantauan, dan pemberdayaan perempuan menjadi hal yang penting dilakukan,” pungkas Aditya.
Baca juga: Nasib Korban Iklim di Demak: Tersandung Hukum Lahan dan Minim Pelatihan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya