Berdasarkan hasil survei tahun 2011 di area 2 × 2 km mencatat ada 5 pohon dewasa, 63 remaja, dan 378 semaian. Belum ada temuan subpopulasi lain di Waigeo, dan kemungkinan habitatnya sangat terbatas di hutan kapur kota Waisai.
Secara keseluruhan, luas sebaran populasi Palam Raja Ampat hanya 66 km², dan area hunian aktifnya tinggal 8 km². Fragmentasi dan penurunan kualitas habitat sehingga membuat status konservasinya sangat kritis.
Nama dan Asal Usul
Adapun, nama Wallaceodoxa raja-ampat, menurut penelitian Charlie dan tim, diambil dari Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris yang dikenal sebagai penemu teori seleksi alam dan pernah mengunjungi Waigeo pada tahun 1860. Nama genus “Wallaceodoxa” berasal dari gabungan nama Wallace dan kata Yunani “-doxa” yang berarti “untuk kemuliaan Wallace”.
Sementara dalam bahasa lokal (dialek Wayaf atau Gebe), palem ini dikenal sebagai Gulbotom.
Saat ini pulau yang menjadi habitat asli Palem Raja Ampat sedang menjadi sorotan sebab maraknya pertambangan yang terjadi di area tersebut. Meski Palem Raja Ampat dapat bertahan dalam kondisi yang ekstrem, tetapi jika pembuka lahan dilakukan, Palem Raja Ampat tidak akan bertahan.
Palem Raja Ampat bukan sekadar tanaman. Ia adalah simbol kekayaan hayati Papua yang kini butuh perhatian lebih agar tidak benar-benar hilang dari peta. Oleh sebab itu, penting untuk menjaga Palem Raja Ampat Ampat sama halnya dengan menjaga warisan alam Indonesia.
Baca juga: Tambang Nikel Raja Ampat, Peneliti BRIN Ungkap Dampak Jangka Pendek dan Panjangnya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya