Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. A’an Johan Wahyudi
Peneliti

Profesor Riset Biogeokimia Laut, Badan Riset dan Inovasi Nasional; Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI)

Saat Ambisi Energi Hijau Bertabrakan dengan Konservasi Biru di Raja Ampat

Kompas.com - 10/06/2025, 13:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal Ini menunjukkan bahwa peningkatan kekeruhan dan sedimentasi secara nyata menghambat rekrutmen awal karang, mengindikasikan risiko gangguan regenerasi ekosistem.

Lebih lanjut, aktivitas tambang di pulau kecil berpotensi mencemari sedimen laut dengan logam berat seperti nikel dan kobalt.

Baca juga: Menambang Raja Ampat, Menghapus Jejak Keanekaragaman Bahari

Studi Viret et al. (2006) menunjukkan bahwa konsentrasi nikel sekitar 20 mg/kg dalam sedimen menghambat aktivitas mikroba benthik hingga 60–90 persen, yang secara biologis juga bisa mengganggu fiksasi nitrogen dasar—proses penting dalam pertumbuhan dan ketahanan biota bentik dan karang.

Paradoks “tambang untuk energi hijau”

Narasi bahwa tambang nikel penting sebagai pendukung utama energi hijau (misalnya untuk bahan dasar baterai kendaraan listrik) seringkali menutup mata dari kenyataan ekologis.

Raja Ampat bukan gudang mineral, tapi penyerap karbon dan penstabil iklim alami. Eksploitasi di sini adalah contoh nyata dari “green extractivism”, istilah yang disampaikan oleh Dunlap dkk. (2024) sebagai ‘mengorbankan integritas ekologi demi keuntungan jangka pendek dengan dalih keberlanjutan’.

Indonesia kiranya memiliki cadangan nikel yang melimpah di luar kawasan ekosistem kritis. Jika kita sadar, sebenarnya penambangan bisa dilakukan di area yang bukan termasuk kawasan ekosistem kritis tersebut.

Oleh karenanya, perencanaan ruang laut berbasis sains perlu menjadi acuan untuk menetapkan zona larangan tambang berdasarkan nilai ekosistem dan ketahanan habitat.

Keputusan pemerintah Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan beberapa perusahaan tambang di Raja Ampat merupakan langkah awal yang patut diapresiasi.

Namun, tindakan sementara tidak cukup untuk melindungi warisan laut secara jangka panjang.

Baca juga: Raja Ampat: Surga yang Dicemari Negara

Tindak lanjut yang sesungguhnya diperlukan adalah, pertama, moratorium permanen terhadap aktivitas tambang dan pembangunan smelter di pulau kecil dan kawasan geopark UNESCO.

Kedua, penetapan zona infrastruktur biru, di mana fungsi ekosistem laut dilindungi secara hukum sebagai aset publik.

Ketiga, penguatan literasi konservasi laut, agar dukungan publik terhadap keanekaragaman hayati berakar pada pemahaman ilmiah, bukan sekadar emosi.

Raja Ampat bukan hanya kebanggaan Indonesia—ia adalah denyut nadi planet ini. Pada momen memperingati Hari Laut Sedunia ini, mari kita memilih pengetahuan daripada eksploitasi, dan masa depan daripada kerusakan.

Laut tidak butuh diselamatkan, ia butuh dijaga kelestariannya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau