Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gagasan Tambang Laut Dalam Muncul, PBB Ingatkan Perlunya Aturan

Kompas.com, 10 Juni 2025, 20:00 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Laut dalam tak boleh menjadi wilayah tanpa aturan. Peringatan ini disampaikan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam Konferensi Kelautan PBB di Nice, Prancis, pada Senin (9/6/2025).

Konferensi tersebut berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan global terkait regulasi penambangan dasar laut untuk mendapatkan mineral penting, serta upaya merumuskan perjanjian global dalam mengatasi polusi plastik.

Beberapa negara, termasuk Norwegia dan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, mulai menjajaki kemungkinan eksploitasi sumber daya dasar laut. Namun, inisiatif ini menuai kontroversi karena dampak lingkungan yang belum sepenuhnya diketahui.

Antonio Guterres menyerukan kehati-hatian dan regulasi ketat dalam menangani eksplorasi laut dalam. “Laut dalam tidak boleh menjadi wilayah Wild West,” katanya, dikutip dari Channel News Asia pada Selasa (10/6/2025).

Presiden Prancis Emmanuel Macron termasuk di antara pemimpin dunia yang menentang eksploitasi dasar laut. Ia menyuarakan pentingnya moratorium global terhadap penambangan laut dalam.

“Saya pikir sangat gila untuk memulai aksi ekonomi predator yang akan mengganggu dasar laut dalam, merusak keanekaragaman hayati, menghancurkannya dan melepaskan penyerap karbon yang tidak dapat dipulihkan, padahal kita tidak tahu apa pun tentang itu,” ujar Macron. Ia juga menekankan bahwa wilayah seperti laut dalam, Greenland, dan Antartika “tidak untuk dijual.”

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva turut menyuarakan keprihatinan, menyerukan Otoritas Dasar Laut agar mengambil tindakan nyata dalam menghentikan perlombaan global mencari mineral penting. “Kini kita melihat ancaman unilateralisme membayangi lautan. Kita tidak boleh membiarkan yang terjadi pada perdagangan internasional terjadi juga di lautan,” katanya.

Sementara itu, Macron menyoroti perkembangan penting dalam perlindungan laut global. Ia mengungkapkan bahwa pakta global untuk melindungi kehidupan laut di perairan internasional (disepakati pada 2023) telah hampir mencapai ambang ratifikasi yang dibutuhkan untuk berlaku.

“Hal ini memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa perjanjian laut lepas akan dilaksanakan,” ujarnya.

Baca juga: Megafauna Laut dalam Bahaya, Area Perlindungan Harus Diperluas

Lebih dari 60 kepala negara dan pemerintahan hadir dalam konferensi ini, bergabung dengan ribuan pemimpin bisnis, ilmuwan, dan aktivis. Komitmen baru diharapkan diumumkan selama pertemuan.

Salah satunya datang dari Inggris, yang mengumumkan akan melarang sebagian praktik penangkapan ikan dengan pukat dasar di setengah dari kawasan perlindungan lautnya. Praktik ini dikritik karena menggunakan jaring besar yang menyeret dasar laut tanpa pandang bulu.

Prancis pun menyatakan akan membatasi pukat harimau di beberapa wilayah perlindungan lautnya. Namun, kebijakan ini dianggap belum cukup oleh kelompok lingkungan untuk melindungi ekosistem laut secara menyeluruh.

Pada hari Minggu sebelumnya, Menteri Lingkungan Prancis Agnes Pannier-Runacher memberi isyarat akan adanya pengumuman penting terkait kawasan perlindungan laut baru.

Negara kepulauan seperti Samoa telah mengambil langkah konkret, dengan mengumumkan perlindungan terhadap 30 persen wilayah perairannya melalui pembentukan sembilan taman laut. Saat ini, hanya sekitar 8 persen lautan global yang masuk dalam kawasan konservasi laut, padahal target global menetapkan angka 30 persen pada 2030.

Sayangnya, hanya sebagian kecil kawasan yang benar-benar terlindungi secara efektif, karena banyak negara tidak memiliki peraturan yang memadai atau pendanaan untuk menegakkannya. Dalam forum ini, negara-negara juga dihadapkan pada desakan untuk meningkatkan pendanaan konservasi laut.

Negara-negara kepulauan kecil hadir dalam jumlah besar di pertemuan ini. Mereka mendesak dukungan politik dan finansial guna menghadapi tantangan besar seperti naiknya permukaan laut, sampah laut, dan penjarahan stok ikan.

Walau tidak menghasilkan perjanjian yang mengikat secara hukum seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP), banyak pengamat menilai Konferensi Nice bisa menjadi titik balik penting dalam konservasi lautan global—jika para pemimpin dunia bersedia bertindak.

“Kami katakan kepada Anda, jika Anda serius dalam melindungi lautan, buktikanlah,” tegas Presiden Palau Surangel Whipps Jr., mewakili suara negara-negara Pasifik yang paling rentan terhadap krisis laut.

Baca juga: Lalu Lintas Laut Meningkat Seiring Hilangnya Es, Ancam Iklim Global

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau