Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Arifin
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Hutan Bersuara, Demokrasi Bergema

Kompas.com - 11/06/2025, 10:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM gemuruh demokrasi elektoral yang penuh baliho, jingle, dan janji-janji perubahan, ada suara yang luput kita dengarkan: suara hutan. Ia tidak berteriak, tidak memilih, dan tidak bisa mengadu ke Mahkamah Konstitusi.

Diamnya hutan bukan berarti bisu. Diamnya adalah gugatan paling lantang atas demokrasi yang abai pada ekologi.

Dalam setiap batang pohon yang tumbang untuk kepentingan tambang, jalan, atau proyek strategis nasional, sesungguhnya ada hak-hak ekologis yang dirampas—tanpa mekanisme banding.

Demokrasi selama ini terlalu antroposentris: manusia sebagai pusat segalanya. Rakyat dianggap pemilik satu-satunya suara sah.

Namun, bagaimana dengan alam yang menjadi tumpuan hidup? Tidakkah seharusnya hutan, sungai, laut, dan udara juga memiliki perlindungan hukum sebagai entitas hidup yang terhubung erat dengan hak-hak generasi kini dan mendatang?

Baca juga: Papua Bukan Tanah Kosong: Save Raja Ampat!

Jika demokrasi adalah sistem untuk mendengar suara semua yang terdampak, maka hutan harus mulai dihitung dalam percakapan publik dan perumusan kebijakan.

Ekologi yang dilupakan

Sebagai akademisi, saya menyaksikan sendiri betapa demokrasi prosedural sering kali gagal melindungi ruang hidup. Alih-alih menjadi alat kontrol kekuasaan, demokrasi malah digunakan untuk melegitimasi perampasan ruang melalui proses formal yang cacat moral.

Persetujuan lingkungan hidup kadang hanya menjadi formalitas administrasi, studi AMDAL sekadar pengisi rak, dan ruang partisipasi publik hanyalah panggung konsultasi semu.

Lihatlah kasus di Papua dan Kalimantan. Proyek-proyek perkebunan, pertambangan, hingga food estate kerap dipaksakan atas nama pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.

Padahal yang terjadi adalah pemiskinan ekologis, pengusiran masyarakat adat, dan rusaknya sistem penyangga kehidupan.

Kita melihat demokrasi formal berlangsung: ada rapat dengar pendapat, ada pengesahan anggaran, ada izin dari kementerian. Namun semuanya seperti tidak benar-benar mewakili kepentingan yang paling terdampak—yakni ekosistem itu sendiri.

Sudah saatnya kita menggagas bentuk baru demokrasi: ekodemokrasi. Demokrasi yang tidak hanya mendengar suara manusia, tapi juga mempertimbangkan keberlanjutan ekologis sebagai pilar keadilan.

Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik

Ini bukan ide utopis. Di beberapa negara seperti Ekuador dan Bolivia, alam telah diberi hak hukum secara nasional.

Di Ekuador, pasal 71 sampai 73 Konstitusi 2008 mengakui hak-hak alam sebagai bagian dari sistem hukum.

Sementara di Bolivia, hak-hak alam diakui melalui Undang-Undang Hak Ibu Pertiwi (Ley de Derechos de la Madre Tierra) tahun 2010 dan Undang-Undang Kerangka Hukum Lingkungan Hidup tahun 2012.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau