Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Indonesia, sebagai negara yang dikaruniai biodiversitas tinggi, mestinya lebih progresif dalam mengembangkan gagasan serupa.
Ekodemokrasi bisa dimulai dari regulasi. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus direvisi untuk memberikan kedudukan hukum lebih kuat pada entitas ekologis.
Lalu diperkuat oleh instrumen kebijakan fiskal hijau, mekanisme partisipasi komunitas lokal, dan penguatan hukum adat yang berpihak pada konservasi.
Kita sering mengeluh tentang kualitas anggota parlemen, tapi jarang kita bertanya: apakah ada yang mewakili hutan di Senayan?
Apakah ada suara terumbu karang di antara fraksi-fraksi? Apakah wakil rakyat pernah benar-benar membela sungai saat ia dicekik limbah industri?
Dalam sistem demokrasi modern, representasi bersifat politis dan teritorial. Namun dalam dunia yang sedang memanas oleh krisis iklim, kita butuh representasi ekologis.
Perluasan konsep representasi ini bukan sekadar menambah kursi hijau di parlemen, melainkan melibatkan ilmuwan lingkungan, masyarakat adat, dan aktivis ekologi dalam pengambilan keputusan strategis.
Demokrasi tidak boleh lagi dibatasi oleh manusia dan angka pemilih. Demokrasi harus bersuara untuk yang tak bersuara.
Contoh paling menginspirasi datang dari Timur Indonesia. Di Raja Ampat, konservasi laut dijalankan bukan hanya atas nama negara, tapi juga atas nama nilai-nilai adat.
Sistem sasi yang membatasi eksploitasi laut membuktikan bahwa komunitas lokal punya mekanisme demokrasi ekologis sendiri—di mana alam tidak dilihat sebagai objek eksploitasi, melainkan subyek hubungan hidup.
Sasi bukan sekadar larangan sementara mengambil hasil laut, tetapi juga merupakan bentuk demokrasi ekologis yang melibatkan musyawarah, ritus budaya, dan pengawasan sosial.
Ketika negara hadir untuk memperkuat, bukan menggusur, nilai-nilai ini, maka terciptalah kolaborasi antara demokrasi prosedural dan demokrasi ekologis. Suara ikan, karang, dan mangrove hadir dalam bentuk kearifan yang hidup dan dinamis.
Baca juga: Raja Ampat, Ekstraktivisme, dan Oligarki Pertambangan
Setiap kali pemilu datang, kita disuguhkan janji-janji hijau. Para kandidat dengan mudah menjual retorika lingkungan: penghijauan, energi terbarukan, penolakan tambang ilegal.
Namun setelah pemilu usai, suara hutan kembali lenyap dari perdebatan parlemen. Green politics yang hanya berhenti pada slogan, tidak menyelamatkan planet yang sedang memanas.
Kita perlu pemilu yang benar-benar menguji komitmen ekologi kandidat. Bukan hanya debat soal subsidi dan infrastruktur, tapi debat tentang krisis iklim, transisi energi, dan masa depan anak cucu dalam dunia yang lebih panas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya