Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polutan Baru Picu Krisis Air dan Kenaikan Biaya Hidup di Negara Berkembang

Kompas.com, 12 Juni 2025, 16:06 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Seiring bertambahnya populasi dan meningkatnya urbanisasi serta aktivitas agroindustri, permintaan air tawar diperkirakan akan meningkat hingga 55 persen pada tahun 2050.

Para ahli memperkirakan bahwa peningkatan permintaan ini akan sangat berdampak pada sumber daya air yang langka dan tidak merata distribusinya.

Air yang seharusnya menjadi hak dasar bagi semua orang, mungkin akan semakin dikelola oleh perusahaan swasta.

Selain itu dengan semakin banyaknya aktivitas manusia dan industri, polusi air cenderung meningkat. Ini akan membuat air yang tersedia tidak layak untuk digunakan, terutama di negara-negara berkembang yang mungkin memiliki regulasi lingkungan yang lebih lemah atau infrastruktur pengolahan air yang belum memadai.

Melansir Phys, Senin (9/6/2025), kelangkaan air bukan hanya ancaman di masa depan, tetapi sudah menjadi pemicu masalah serius yang nyata saat ini.

Baca juga: Peneliti Soroti Dampak Naiknya Air Laut Terhadap Kehidupan Masyarakat Pesisir

Dari tahun 1970 hingga 2000, terjadi peningkatan 10 persen dalam migrasi global yang terkait dengan kekurangan air.

Menurut laporan tahun 2024 dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebanyak 2.2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum yang dikelola dengan aman pada saat itu.

Sejak 2022, sekitar setengah dari populasi dunia telah mengalami kelangkaan air yang parah setidaknya selama sebagian tahun.

Lalu, seperempat populasi dunia menghadapi tekanan air yang ekstrem, menunjukkan bahwa mereka tinggal di daerah di mana pasokan air sudah sangat terbatas dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan.

Ancaman terhadap ketersediaan air minum yang layak makin mengkhawatirkan manakala publikasi di jurnal ilmiah Frontiers in Water membahas secara mendalam tentang jenis-jenis kontaminan baru yang ditemukan dalam air di negara-negara berkembang.

"Air tawar di negara-negara berkembang tidak hanya tercemar oleh kontaminan tradisional seperti bakteri feses, tetapi juga semakin parah tercemar oleh jenis polutan baru," kata Geonildo Rodrigo Disner, seorang peneliti di Butantan Institute di São Paulo, Brasil.

Baca juga: El Nino Berpotensi Picu Krisis Air Bersih di Jakarta, BPBD DKI Siapkan Mitigasi

Polutan baru ini termasuk pestisida pertanian, aditif bahan bakar, plasticizer atau bahan antilengket, obat-obatan seperti antibiotik, pereda nyeri, dan hormon, produk kebersihan, dan kosmetik.

Kontaminan tersebut ini bukanlah selalu zat yang benar-benar baru, tetapi konsentrasi dan keberadaannya di lingkungan terutama di air sekarang terdeteksi pada tingkat yang belum pernah tercatat sebelumnya, menyebabkan kekhawatiran yang meningkat.

Misalnya saja herbisida diuron yang digunakan pada tanaman tebu dan kapas, glifosat yang digunakan pada tanaman kedelai dan jagung, atrazina yang dipakai pada tanaman jagung dan sorgum, serta 24D yang digunakan untuk mengendalikan tanaman berdaun lebar di padang rumput dan tanaman.

Kontaminan baru ini pun menjadi ancaman tersembunyi yang sangat serius.

Pasalnya, zat-zat tersebut tidak bisa dihilangkan dengan pengolahan air biasa, sehingga dapat menumpuk di lingkungan, beracun bahkan dalam jumlah kecil, mengganggu hormon, dan secara diam-diam terakumulasi dalam tubuh kita melalui rantai makanan, menyebabkan dampak kesehatan jangka panjang yang parah.

"Karena tidak dihilangkan dengan metode pengolahan air konvensional, polutan ini terakumulasi dalam ekosistem perairan dan dapat menyebabkan efek toksik, bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah," kata Disner.

Baca juga: Tingkat Polutan Penyumbat Atmosfer Pecahkan Rekor

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Bencana Sumatera, BRIN Soroti Mitigasi Lemah Saat Siklon Senyar Terjadi
Bencana Sumatera, BRIN Soroti Mitigasi Lemah Saat Siklon Senyar Terjadi
Pemerintah
Nestapa Gajah Sumatera
Nestapa Gajah Sumatera
Pemerintah
Kerusakan Lingkungan Capai Rp 83 Triliun per Jam, PBB Desak Transformasi Sistem Pangan dan Energi
Kerusakan Lingkungan Capai Rp 83 Triliun per Jam, PBB Desak Transformasi Sistem Pangan dan Energi
Pemerintah
Menyelamatkan Spesies Endemik, Strategi Konservasi Taman Safari Indonesia di Era Perubahan Iklim
Menyelamatkan Spesies Endemik, Strategi Konservasi Taman Safari Indonesia di Era Perubahan Iklim
Swasta
Impor Limbah Plastik Picu Kenaikan Sampah Pesisir, Simak Penelitiannya
Impor Limbah Plastik Picu Kenaikan Sampah Pesisir, Simak Penelitiannya
LSM/Figur
Anak-anak Korban Bencana di Sumatera Dapat Trauma Healing
Anak-anak Korban Bencana di Sumatera Dapat Trauma Healing
Pemerintah
Cegah Deforestasi, Koalisi LSM Rilis Panduan Baru untuk Perusahaan
Cegah Deforestasi, Koalisi LSM Rilis Panduan Baru untuk Perusahaan
LSM/Figur
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
LSM/Figur
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Pemerintah
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
LSM/Figur
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
LSM/Figur
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
LSM/Figur
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau