ADA anekdot yang beredar di Kementerian Kehutanan bahwa untuk mengurus perizinan pinjam pakai kawasan hutan (IPKH) untuk tambang mineral dan batu bara (minerba) 100 hektar nilai ekonomisnya sama dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) seluas 50.000 hektar.
Benarkah demikian?
Secara ekonomis, hasil yang diperoleh dari kedua jenis izin usaha dalam kawasan hutan tersebut memang demikian adanya.
Penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diterima negara akan lebih besar dari pertambangan dibandingkan dengan IUPHHK-HA, meski luasnya 500 kalinya dari izin pertambangan.
Namun, dari aspek ekologis dan sosial tentu akan berbeda hitungannya.
Dalam regulasi kehutanan terbaru di Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan syarat-syarat khusus.
Baca juga: Raja Ampat dan Kutukan Sumber Daya
Khusus untuk pertambangan di hutan lindung hanya dapat dilakukan dengan pola pertambangan bawah tanah.
Pemegang izin/persetujuan pertambangan dikenakan untuk membayar PNBP penggunaan kawasan hutan.
Sedangkan bagi provinsi yang kurang kecukupan kawasan hutannya, pemegang izin/persetujuan pertambangan, di samping membayar PNBP kawasan hutan juga dikenakan membayar PNBP kompensasi.
Berdasarkan izin/persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk tambang, pemegang izin/persetujuan dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan membayar Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan/atau Dana Reboisasi (DR) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila kegiatan pertambangan telah memegang izin/persetujuan penggunaan kawasan hutan dan telah membayar kewajibannya yang terkait dengan Kementerian Kehutanan, maka pemegang izin/persetujuan tersebut juga harus memegang izin usaha pertambangan (IUP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Apabila usaha pertambangan tersebut telah beroperasi dan menghasil minerba, maka ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan PP No 37/2018 tentang Perlakuan Perpajakan dan /atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Mineral.
Objek pajak di bidang usaha pertambangan merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak di bidang usaha pertambangan sehubungan dengan penghasilan dari usaha; dan penghasilan dari luar usaha, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan dari usaha pertambangan merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penjualan/pengalihan hasil produksinya.
Sementara itu, IUPPHK-HA hanya dapat dilakukan di hutan produksi. Kegiatan IUPHHK-HA
tumbuh alami meliputi kegiatan penebangan/pemanenan; pengayaan; pembibitan; penanaman; pemeliharaan; pengamanan; pengolahan; dan pemasaran.
Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik
Kegiatan IUPHHK-HA dilakukan melalui inventarisasi hutan menyeluruh berkala pada seluruh areal kerja.
Pembatasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada hutan produksi meliputi pembatasan luasan; pembatasan jumlah Perizinan Berusaha; dan penataan lokasi dengan jangka waktu konsesi paling lama 90 tahun.
Pembatasan luasan PBPH diberikan paling luas 50.000 Ha, kecuali untuk wilayah Papua dapat diberikan paling luas 100.000 Ha.
Pembatasan jumlah Perizinan Berusaha dapat diberikan paling banyak 2 (dua) Perizinan Berusaha. Setiap pemegang PBPH pada hutan produksi (termasuk IUPHHK-HA) wajib membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PNBP untuk kegiatan IUPHHK-HA adalah Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (IPBPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) dan penerimaan dari denda pelanggaran; dan penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan hasil hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil hutan.
Secara ekologis, dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan akan lebih besar kerusakannya dibandingkan dengan IUPHHK-HA dalam kawasan hutan.
Dalam kegiatan pertambangan, baik dengan pola pertambangan bawah tanah, apalagi dengan pola terbuka dapat dipastikan bahwa vegetasi kayu-kayu dalam kawasan tersebut akan dilakukan tebang habis.
Sementara dalam IUPHHK-HA, kegiatan penebangan/pemanenan kayunya telah menggunakan sistem silvikultur (penanaman kembali) untuk memulihkan kawasan hutannya sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.
Sistem silvikultur dalam pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi paling sedikit meliputi a. Sistem Silvikultur tebang habis permudaan buatan; b. Sistem Silvikultur tebang habis permudaan alam; c. Sistem Silvikultur tebang pilih tanam Indonesia; d. Sistem Silvikultur tebang jalur tanam Indonesia; e. Sistem Silvikultur tebang pilih tanam jalur; dan f. Sistem Silvikultur tebang rumpang.
Baca juga: Raja Ampat, Ekstraktivisme, dan Oligarki Pertambangan
Meski dalam kegiatan pertambangan juga diwajibkan untuk mereklamasi bekas tambangnya, untuk memperbaiki atau memulihkan kemballi lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya (UU No. 41/1999 pasal 44).
Namun, proses pemulihan (recovery) menjadi kawasan hutan akan membutuhkan waktu yang sangat lama bila dibandingkan dengan kegiatan IUPHHK-HA dalam kawasan hutan.
Kesimpulannya dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan akan lebih besar dibandingkan dengan kegiatan IUPHHK, meskipun dalam skala luas IUPHHK-HA lebih masif.
Secara sosial, dampak buruk kegiatan pertambangan dan IUPHHK sama-sama menggusur masyarakat adat yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan yang menjadi pusat kegiatan pertambangan dan IUPHHK.
Fakta membuktikan bahwa selama ini kedua kegiatan pertambangan maupun IUPHHK-HA secara langsung maupun tidak langsung telah menggusur masyarakat adat yang telah bermukim dan menggantungkan hidupnya dalam kawasan hutan tersebut.
Konflik tenurial ini tidak akan terjadi apabila sebelum masuknya kedua kegiatan tersebut, masyarakat adat diajak bicara dan dicarikan jalan keluar oleh pemerintah sebelum izin kegiatan tersebut terbit.
Dengan demikian, konflik yang akan terjadi dapat diminimalkan sekecil mungkin.
Mana yang lebih besar dampak buruk kegiatan pertambangan dan IUPHHK-HA terhadap masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan yang ada di dekat kedua kegiatan tersebut, selama ini belum dapat diukur dan perlu diadakan penelitian khusus sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing.
Secara ekonomi, kegiatan pertambangan dan IUPHHK dalam kawasan hutan memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi devisa negara.
Ingat pada masa orde baru yang getol dengan jargon pembangunan, perekonomian negara banyak ditopang oleh sektor migas (meski kilang minyak ada yang dilepas pantai/offshore) sebagai devisa negara nomor satu dan sektor kehutanan dari hasil hutan yang menduduki nomor dua.
Kesimpulannya adalah potensi tambang dan potensi hutan sama pentingnya untuk memberikan manfaat ekonomi sepanjang dikelola dengan bijaksana dengan memperhatikan aspek ekologi dan sosial wilayah sekitarnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya