Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transisi Energi Indonesia: Hijau dalam Narasi, Abu-abu dalam Praktik

Kompas.com - 01/07/2025, 19:07 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Di tengah narasi pemerintah tentang transisi energi hijau, praktik di lapangan justru masih menyisakan banyak persoalan.

Policy Strategist Cerah, Al Ayubi, menilai bahwa transisi energi Indonesia masih belum benar-benar hijau.

Transisi energi kita hijau di narasi, tapi abu-abu dalam praktiknya,” ujarnya.

Al Ayubi menyampaikan bahwa nikel selama ini dilabeli sebagai mineral krusial dalam mendukung dekarbonisasi dunia.

Namun, menurutnya menimbulkan banyak persoalan, mulai dari peningkatan konflik sosial, tekanan ekologis, hingga ketimpangan kekuasaan antara perusahaan dan masyarakat lokal.

“Pertanyaannya, apakah nikel kita benar-benar mendukung transisi energi yang hijau? Jawabannya sampai saat ini belum,” ujar Al Ayubi dalam acara CERAH Insight Talk “Dilema Nikel dan Transisi Energi: Mampukah Standar ESG Melindungi Hak Masyarakat dan Ruang Hidup?” pada Senin (30/6/2025).

Secara kapasitas produksi, Al Ayubi menilai manufaktur Indonesia belum siap untuk membangun pabrik-pabrik yang secara spesifik mendukung kebutuhan transisi energi.

Justru, yang ditemukan di lapangan adalah berbagai masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang bertolak belakang dengan narasi hijau yang disematkan pada industri nikel.

Baca juga: Ancaman Krisis Besar di Balik Kasus Tesso Nilo

“Kalau kita bicara emisi, emisi rata-rata nikel kita masih yang terbesar. Bila dibandingkan dengan rata-rata global, kita masih jauh di bawah batas yang ditentukan secara internasional,” jelasnya.

Ia menambahkan, sebagian besar smelter nikel di Indonesia masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Rata-rata emisinya mencapai 58,6 ton CO2 per ton nikel, jauh lebih tinggi dibandingkan 11 ton CO2 per ton nikel yang dihasilkan oleh BHP Nickel West di Australia.

Selain emisi, ekspansi tambang juga berdampak pada deforestasi.

Al Ayubi menyebut sekitar 180.587 hektare konsesi nikel berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Di Halmahera, setidaknya 5.300 hektare hutan tropis telah hilang akibat tambang, memperparah risiko banjir dan merusak ekosistem lokal.

Dari sisi sosial, menurutnya, kualitas keselamatan kerja di sektor ini juga masih rendah. “Banyak terjadi kasus kecelakaan kerja di area-area smelter,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mencontohkan Pulau Wawonii, di mana aktivitas tambang telah mencemari sumber air bersih dan mengurangi hasil pertanian. Di Pulau Kabaena, masyarakat adat Bajau kehilangan mata pencaharian karena degradasi ekosistem laut.

Masalah lainnya adalah pada aspek tata kelola. Menurut Al Ayubi, hingga kini masih ada kesenjangan besar antara standar internasional dengan praktik di Indonesia. Banyak perusahaan nikel belum memperoleh sertifikasi ESG global seperti EU Battery Passport yang akan berlaku pada 2027.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau