Sementara itu, ia mengatakan satu-satunya penilaian ESG yang cukup spesifik di Indonesia datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, ia menilai penilaian tersebut masih belum transparan.
“Kalau saya lihat dan diskusi, penilaiannya juga nggak terlalu detail. Saya kesulitan melihat bagaimana cara pengukurannya,” katanya.
Ia juga menyoroti regulasi ESG yang masih tersebar dalam berbagai undang-undang sektoral.
Baca juga: IESR Dorong ASEAN JETP, Potensi Dana Transisi Energi Capai Rp 2.000 Triliun
“Aspek lingkungan diatur dalam UU No. 32/2009, aspek sosial di Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan tata kelola ada di UU No. 27/1998 tentang perusahaan terbatas. Ini masih terpisah-pisah,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini bisa membingungkan perusahaan sendiri dalam memahami apakah mereka sudah sesuai dengan standar ESG atau belum.
Oleh sebab itu, Al Ayubi menekankan bahwa transisi energi tidak boleh dilihat semata sebagai pergantian sumber energi atau jenis kendaraan.
Ia menilai perlu ada perubahan paradigma pembangunan karena tambang dan smelter nikel adalah proyek jangka panjang, yang bisa berlangsung 20 hingga 40 tahun ke depan.
Pemerintah, lanjutnya, perlu meninjau ulang arah kebijakan transisi energi dan mulai melaporkan kinerja ESG secara terstruktur dan terintegrasi.
Sertifikasi ESG serta pelacakan rantai pasok juga perlu diperkuat, bukan hanya secara administratif, tetapi juga lewat pemantauan berbasis komunitas.
“Transisi energi juga harus melibatkan partisipasi masyarakat,” ujar Al Ayubi.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa transisi tidak boleh hanya fokus pada target teknis seperti pengurangan emisi atau kapasitas energi terbarukan. Prinsip keadilan sosial dan inklusi harus jadi fondasi.
Dengan begitu, katanya, transisi energi Indonesia tidak hanya hijau di narasi, tetapi juga hijau dalam praktiknya.
Baca juga: Duit China Dorong Transisi Energi ASEAN, tapi Politik Global Menahan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya