Meski ada formula premium untuk harga listrik dari energi terbarukan, seperti kata Bill Gates, tren harga listrik dari energi bersih menunjukkan tren turun.
Kementerian ESDM Indonesia menghitung harga listrik PLTS Terapung Cirata, Purwakarta sebesar 5,8 sen dolar AS per kilowatt jam Watt (kWh) atau sekitar Rp 907,6 per kWh.
Ini lebih murah dari tarif listrik ke konsumen rumah tangga nonsubsidi yang mencapai Rp 1.444,70 per kWh. Namun ini masih parsial dan lokal, serta belum mencerminkan PLTS di negeri kita, walau tetap "good news".
Transisi ke energi terbarukan memang terjal. Dan politik selalu mengintip, mengendap-endap dan menunggu waktu untuk memulai serangan serta memukul balik. Sekali tak mencerminkan dinamika kemajuan, bersiaplah digugat.
Partai sayap kanan populis, yakni Alternative for Germany (AfD), misalnya, bergabung dalam barisan yang menyangkal perubahan iklim sebagai strategi kampanye.
Dan seperti gerakan bongkotan yang menyangkal perubahan iklim, AfD tak percaya jika perubahan iklim disebabkan ulah manusia. Kini AfD menjadi kekuatan terbesar nomor dua di parlemen Jerman.
Baca juga: Sampah Karbon Raksasa, Mungkinkah Dihapus?
Amerika Serikat lebih parah. Di sana justru sang "kepala ikan" negara adidaya itu, Presiden Donald Trump yang membidik. AS kembali ke energi fosil, minyak, gas dan batu bara serta mengeluarkan negaranya dari Perjanjian Paris.
Menurut saya, ini tak menjelaskan Amerika karena di masa Joe Biden, negeri Abang Sam setia dengan Perjanjian Paris serta energi terbarukan.
Trump hanya terjebak dalam populisme yang bertopang pada keinginan memenuhi hasrat kinerja ekonomi yang berkilau, tanpa peduli terhadap sains.
Di tanah harapan kaum imigran itu politik sedang menelikung sains, setidaknya hingga empat tahun mendatang.
Pada 2024, suhu global rata-rata telah menyundul level 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-revolusi industri, menurut Copernicus Climate Change Service. Itu berarti melampaui batas toleransi yang ditetapkan Perjanjian Paris.
Mungkin para penyangkal akan bilang itu hal biasa atau tak perlu dibesar-besarkan. Skeptisisme, bahkan sinisme, adalah mesin pematah harapan mereka yang pro-iklim.
Namun, ada modal besar untuk terus optimistis. Survei mutakhir yang dipublikasikan Global Methane Hub, ViriyaENB, WRI Indonesia dan WWF Indonesia menyebutkan, 98 persen responden Indonesia percaya perubahan iklim dan 81 persen di antaranya meyakini kegiatan manusia sebagai penyebab utama (Bisnis.com, 6 Mei 2025).
Survei Indikator Politik Indonesia bareng Yayasan Indonesia Cerah tahun 2021 tak berbeda jauh. Sebanyak 82 persen responden (Gen-Z dan milenial) memiliki kepedulian tinggi terhadap isu perubahan iklim. Dan 61 persen memandang krisis iklim sebagai ulah manusia.
Namun, jangan buru-buru menutup pintu rumah dan tidur. Nasihat Michael Mann dalam "The New Climate War" patut dicamkan.
Dalam buku urutan pertama dari 25 buku rekomendasi Earth.Org tahun 2024 itu Mann mewanti-wanti penduduk bumi.
Kata Mann, industri bahan bakar fosil telah menyesuaikan taktiknya, dari penolakan iklim secara langsung hingga menghalangi dan mengalihkan beban tanggung jawab kepada individu, sehingga menunda tindakan yang diperlukan untuk mendorong perubahan sistemik.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya