Maret 2025 lalu, Satya Bumi melakukan investigasi lapangan di Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton Tengah—titik awal operasi nikel di Kabaena.
Dari empat desa (Liwulompona, Wulu, Kokoe, Talaga Besar), kami mewawancarai 62 responden dari berbagai latar belakang. Dari 25 warga pemilik kebun, 22 mengaku lahannya diserobot.
Talaga Besar menjadi episentrum konflik: produktivitas kebun menurun akibat logam tambang yang bertaburan ke udara, dan warga akhirnya menjual lahan karena merasa tak punya pilihan.
Baca juga: Penyangkal Perubahan Iklim Terus Merongrong
Namun soal kompensasi, hanya 30,6 persen warga yang menerima sebagian ganti rugi. Selebihnya tidak menerima apa pun, bahkan yang tidak berada di dalam konsesi pun turut terdampak. Ini menunjukkan lemahnya verifikasi klaim dan ketimpangan yang memperdalam ketidakadilan.
Konflik lahan terus berulang. Sejak salah satu perusahaan beroperasi pada 2007 sebanyak, 245 kepala keluarga terdampak.
Dari total itu, 114 pemilik lahan mengalami kerugian langsung dan 131 petani rumput laut kehilangan pendapatan akibat pencemaran.
Meski sempat ada pembayaran ganti rugi sebagian pada 2012–2013, sejak 2014 sisa Rp 4,6 miliar tak kunjung dibayar.
Data satelit memperkuat temuan ini. Wilayah konsesi perusahaan tersebut terdeteksi mengalami peringatan deforestasi 506,55 hektar.
Deforestasi satu perusahaan lain seluas 194,51 hektar. Bahkan perusahaan tersebut membangun jalan hauling sejak 2007—tiga tahun sebelum izin resmi keluar, melanggar Pasal 36 ayat (2) UU Minerba.
Perusahaan ketiga kembali aktif melakukan ekspansi sejak April 2025 dan mencatat deforestasi tertinggi: 641,29 hektar di wilayah Bombana.
Total peringatan deforestasi tiga perusahaan mencapai 1.342 hektar, sebagian tumpang tindih dengan hutan lindung dan produksi seluas 3.672 hektar.
Banyak yang mengatakan tambang membawa manfaat ekonomi. Namun survei kami di Desa Kokoe dan Wulu menunjukkan bahwa 69,4 persen warga justru mengalami penurunan pendapatan.
Laut yang tercemar membuat nelayan melaut lebih jauh dengan hasil nihil. Produksi rumput laut anjlok, harga jual menurun drastis dari Rp 30.000 ke Rp 3.000 – Rp 7.000 per kilogram.
Dampak terhadap kesehatan juga mengkhawatirkan. Sebanyak 43,5 persen responden menyatakan mengalami gangguan pernapasan dan penyakit kulit, terutama di desa-desa yang berdekatan dengan tambang.
Baca juga: Moratorium Tambang Nikel di Raja Ampat
Meski demikian, ironisnya 56,5 persen responden menyatakan tidak terdampak atau tidak tahu—indikasi bahwa gejala kesehatan belum dikenali secara klinis, dan telah dianggap “biasa”.
Kasus nelayan Yayan dari Desa Kokoe memperkuat fakta ini. Sejak laut tercemar, ia harus melaut 4–5 km dari sebelumnya 1–2 km, dan mengalami gatal-gatal kronis. Petani Sumaryanto dari Talaga Besar pun mengalami iritasi saat memanen rumput laut.
Sedimentasi tambang bahkan mengganggu jalur migrasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan mengancam satu-satunya habitat Monyet Ekor Panjang liar (Macaca fascicularis) di Sulawesi.
Yang paling menyakitkan: negara hanya hadir saat masyarakat melawan. Polisi dikerahkan untuk menjaga alat berat, bukan untuk melindungi warga.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya