Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andi Muttaqien
Direktur Eksekutif Satya Bumi

Andi Muttaqien adalah Direktur Eksekutif Satya Bumi. Andi adalah aktivis sekaligus advokat yang memiliki minat di bidang Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup. Dalam sepuluh tahun terakhir, ia aktif melakukan banyak advokasi kebijakan terkait bisnis dan hak asasi manusia, tata kelola perkebunan kelapa sawit, tata kelola mineral penting, lingkungan hidup, dan perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup, serta melakukan aktivisme yudisial dalam beberapa kasus strategis. Satya Bumi merupakan lembaga yang hadir untuk berkampanye dan memberikan advokasi lingkungan hidup dan HAM yang menjangkau para pengambil kebijakan dan pelaku industri sehingga menciptakan transformasi yang mendorong pemerintah dan sektor swasta mengambil peran aktif dan menjalankan komitmen perlindungan lingkungan dalam mengatasi perubahan iklim, khususnya bagi kelompok-kelompok penting dan rentan seperti perempuan dan masyarakat adat.

Kabaena: Ironi Transisi Energi di Pulau Kecil

Kompas.com - 04/07/2025, 15:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APA guna transisi energi jika dibangun di atas reruntuhan hidup masyarakat lokal? Apa makna pembangunan berkelanjutan jika keadilan dikorbankan?

Di ujung tenggara Sulawesi, pulau kecil bernama Kabaena memberi kita jawaban yang getir. Pulau seluas 891 kilometer persegi itu sedang digerus perlahan-lahan.

Bukan oleh bencana alam, melainkan oleh tambang-tambang nikel yang dilegalkan oleh negara, dipayungi undang-undang yang dilanggar, dan dikawal oleh kekuasaan yang tak tersentuh.

Kabaena bukan sekadar titik di peta. Ia adalah rumah bagi ribuan jiwa, tanah yang diwarisi turun-temurun, laut yang memberi makan, dan ruang hidup yang mestinya dilindungi.

Namun kini, wajah pulau itu berubah drastis. Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa 73 persen pulau ini telah dikapling dalam bentuk konsesi tambang.

Tak kurang dari 16 Izin Usaha Pertambangan (IUP) beroperasi dengan melanggar terang-terangan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang aktivitas ekstraktif di pulau kecil.

Namun ketika kekuasaan bicara, hukum menjadi bisu. Padahal, secara hukum negara tak boleh membiarkan tambang mencabik-cabik pulau kecil seperti Kabaena.

Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik

Pasal 35 huruf K UU No. 27/2007 juncto UU No. 1/2014 dengan jelas melarang penambangan yang secara teknis, ekologis, atau sosial menimbulkan kerusakan lingkungan atau merugikan masyarakat sekitar.

Namun realitas berkata sebaliknya. Alih-alih menghentikan, negara justru merestui dan memfasilitasi.

Fasilitasi itu tampak nyata. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, menjelma dari pelindung warga menjadi jembatan masuk bagi korporasi.

Izin diterbitkan tanpa kajian lingkungan memadai. Tata ruang diubah semena-mena. Amdal disulap jadi formalitas.

Dan para pemainnya bukan sembarang aktor. Di balik tiga perusahaan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Buton Tengah—terdapat nama-nama besar: mantan jenderal polisi, pengusaha dengan koneksi lima menteri, kerabat gubernur, hingga elite partai politik. Jaringan ini bekerja dalam senyap, namun mencengkeram dalam.

Ini bukan semata konflik kepentingan, tapi persekongkolan oligarki bisnis dan politik yang memanfaatkan celah hukum dan nihilnya kontrol publik.

Mereka tidak datang dengan senapan, tetapi dengan dokumen izin. Mereka tidak menjajah secara terbuka, tapi menjarah lewat kebijakan.

Dampak dari semua ini tak hanya tercermin pada kerusakan alam, tapi juga pada penderitaan manusia.

Salah satunya Hanasiah (54), warga desa Liwulompona. Ketika ia menolak menjual ladangnya, lahannya tetap dirampas dan ditimbun tanah merah.

Tahun 2010, ia dituduh memotong tali tongkang milik perusahaan dan dipenjara selama tujuh bulan, saat anak bungsunya masih berusia enam bulan.

Kisah Hanasiah adalah potret dari ratusan perempuan di pulau-pulau kecil yang dikriminalisasi karena membela tanah dan laut mereka.

Maret 2025 lalu, Satya Bumi melakukan investigasi lapangan di Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton Tengah—titik awal operasi nikel di Kabaena.

Dari empat desa (Liwulompona, Wulu, Kokoe, Talaga Besar), kami mewawancarai 62 responden dari berbagai latar belakang. Dari 25 warga pemilik kebun, 22 mengaku lahannya diserobot.

Talaga Besar menjadi episentrum konflik: produktivitas kebun menurun akibat logam tambang yang bertaburan ke udara, dan warga akhirnya menjual lahan karena merasa tak punya pilihan.

Baca juga: Penyangkal Perubahan Iklim Terus Merongrong

Namun soal kompensasi, hanya 30,6 persen warga yang menerima sebagian ganti rugi. Selebihnya tidak menerima apa pun, bahkan yang tidak berada di dalam konsesi pun turut terdampak. Ini menunjukkan lemahnya verifikasi klaim dan ketimpangan yang memperdalam ketidakadilan.

Konflik lahan terus berulang. Sejak salah satu perusahaan beroperasi pada 2007 sebanyak, 245 kepala keluarga terdampak.

Dari total itu, 114 pemilik lahan mengalami kerugian langsung dan 131 petani rumput laut kehilangan pendapatan akibat pencemaran.

Meski sempat ada pembayaran ganti rugi sebagian pada 2012–2013, sejak 2014 sisa Rp 4,6 miliar tak kunjung dibayar.

Data satelit memperkuat temuan ini. Wilayah konsesi perusahaan tersebut terdeteksi mengalami peringatan deforestasi 506,55 hektar.

Deforestasi satu perusahaan lain seluas 194,51 hektar. Bahkan perusahaan tersebut membangun jalan hauling sejak 2007—tiga tahun sebelum izin resmi keluar, melanggar Pasal 36 ayat (2) UU Minerba.

Perusahaan ketiga kembali aktif melakukan ekspansi sejak April 2025 dan mencatat deforestasi tertinggi: 641,29 hektar di wilayah Bombana.

Total peringatan deforestasi tiga perusahaan mencapai 1.342 hektar, sebagian tumpang tindih dengan hutan lindung dan produksi seluas 3.672 hektar.

Banyak yang mengatakan tambang membawa manfaat ekonomi. Namun survei kami di Desa Kokoe dan Wulu menunjukkan bahwa 69,4 persen warga justru mengalami penurunan pendapatan.

Laut yang tercemar membuat nelayan melaut lebih jauh dengan hasil nihil. Produksi rumput laut anjlok, harga jual menurun drastis dari Rp 30.000 ke Rp 3.000 – Rp 7.000 per kilogram.

Dampak terhadap kesehatan juga mengkhawatirkan. Sebanyak 43,5 persen responden menyatakan mengalami gangguan pernapasan dan penyakit kulit, terutama di desa-desa yang berdekatan dengan tambang.

Baca juga: Moratorium Tambang Nikel di Raja Ampat

Meski demikian, ironisnya 56,5 persen responden menyatakan tidak terdampak atau tidak tahu—indikasi bahwa gejala kesehatan belum dikenali secara klinis, dan telah dianggap “biasa”.

Kasus nelayan Yayan dari Desa Kokoe memperkuat fakta ini. Sejak laut tercemar, ia harus melaut 4–5 km dari sebelumnya 1–2 km, dan mengalami gatal-gatal kronis. Petani Sumaryanto dari Talaga Besar pun mengalami iritasi saat memanen rumput laut.

Sedimentasi tambang bahkan mengganggu jalur migrasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan mengancam satu-satunya habitat Monyet Ekor Panjang liar (Macaca fascicularis) di Sulawesi.

Yang paling menyakitkan: negara hanya hadir saat masyarakat melawan. Polisi dikerahkan untuk menjaga alat berat, bukan untuk melindungi warga.

Hukum berubah dari pelindung menjadi alat represi. Rakyat dituntut taat hukum, sementara korporasi melanggarnya tanpa konsekuensi.

Semua ini terjadi atas nama “transisi energi”. Nikel dari Kabaena menjadi bahan baku kendaraan listrik—ikon energi bersih.

Namun siapa yang menanggung ongkosnya? Perempuan seperti Hanasiah. Nelayan seperti Yayan. Anak-anak yang tumbuh di reruntuhan ekosistem.

Inilah wajah kolonialisme baru: penjajahan berbasis izin, bukan senapan.

Jika kita sungguh menginginkan transisi energi yang adil, maka kita harus menolak brutalitas tambang di pulau-pulau kecil.

Tidak cukup hanya membicarakan angka karbon sambil membiarkan tanah dan laut rakyat dikeruk habis. Transisi energi yang adil menuntut perlindungan ruang hidup, keterlibatan masyarakat lokal, dan penegakan hukum terhadap pelanggar.

United Nations Expert pada September 2024 dalam statementnya mengenai Transisi Mineral menyatakan bahwa Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap orang atas lingkungan yang sehat dan melindungi pembela hak asasi manusia lingkungan yang menyerukan perhatian terhadap risiko hilangnya keanekaragaman hayati, kekurangan air, degradasi laut, dampak iklim, dan polusi beracun yang timbul dari tindakan terhadap mineral penting.

Negara memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (the precautionary principle) dan untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia Masyarakat Adat.

Termasuk hak mereka untuk mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan, dan hak-hak petani dan orang lain, yang hak-haknya paling parah dipengaruhi oleh degradasi lingkungan yang timbul dari eksplorasi dan eksploitasi mineral penting.

Oleh karenanya, pemerintah harus: Pertama, mencabut seluruh IUP yang melanggar UU No. 1 Tahun 2014 di pulau kecil seperti Kabaena. Tak boleh ada kompromi hukum.

Kedua, revisi Pasal 162 UU Minerba yang melegalkan kriminalisasi warga pembela lingkungan. Karena mereka adalah korban, bukan pelaku.

Ketiga, libatkan publik secara aktif dalam revisi RTRW Sulawesi Tenggara, agar tata ruang tidak lagi dikendalikan oleh elite.

Keempat, pihak perusahaan harus memulihkan kerusakan, membayar ganti rugi secara adil, dan membuka dokumen FPIC (persetujuan masyarakat).

Kelima, rantai pasok global harus menghentikan kerja sama dengan pelaku perusakan lingkungan dan melakukan uji tuntas HAM dan lingkungan.

Kabaena bukan satu-satunya. Ia adalah cermin bagaimana negara memperlakukan pulau-pulau kecil: sebagai objek eksploitasi, bukan subjek kehidupan.

Jika Kabaena dibiarkan, maka jangan heran bila satu per satu pulau kecil Indonesia lenyap—bukan karena naiknya air laut, tapi karena dijual atas nama “pembangunan.”

Pulau kecil itu dijarah dalam sunyi. Namun sunyi bukan berarti kalah. Kini saatnya suara-suara dari pinggiran menjadi arus utama. Karena di sanalah, keadilan menemukan bentuk paling nyatanya: hak untuk hidup, di tanah sendiri. 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau