Hukum berubah dari pelindung menjadi alat represi. Rakyat dituntut taat hukum, sementara korporasi melanggarnya tanpa konsekuensi.
Semua ini terjadi atas nama “transisi energi”. Nikel dari Kabaena menjadi bahan baku kendaraan listrik—ikon energi bersih.
Namun siapa yang menanggung ongkosnya? Perempuan seperti Hanasiah. Nelayan seperti Yayan. Anak-anak yang tumbuh di reruntuhan ekosistem.
Inilah wajah kolonialisme baru: penjajahan berbasis izin, bukan senapan.
Jika kita sungguh menginginkan transisi energi yang adil, maka kita harus menolak brutalitas tambang di pulau-pulau kecil.
Tidak cukup hanya membicarakan angka karbon sambil membiarkan tanah dan laut rakyat dikeruk habis. Transisi energi yang adil menuntut perlindungan ruang hidup, keterlibatan masyarakat lokal, dan penegakan hukum terhadap pelanggar.
United Nations Expert pada September 2024 dalam statementnya mengenai Transisi Mineral menyatakan bahwa Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap orang atas lingkungan yang sehat dan melindungi pembela hak asasi manusia lingkungan yang menyerukan perhatian terhadap risiko hilangnya keanekaragaman hayati, kekurangan air, degradasi laut, dampak iklim, dan polusi beracun yang timbul dari tindakan terhadap mineral penting.
Negara memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (the precautionary principle) dan untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia Masyarakat Adat.
Termasuk hak mereka untuk mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan, dan hak-hak petani dan orang lain, yang hak-haknya paling parah dipengaruhi oleh degradasi lingkungan yang timbul dari eksplorasi dan eksploitasi mineral penting.
Oleh karenanya, pemerintah harus: Pertama, mencabut seluruh IUP yang melanggar UU No. 1 Tahun 2014 di pulau kecil seperti Kabaena. Tak boleh ada kompromi hukum.
Kedua, revisi Pasal 162 UU Minerba yang melegalkan kriminalisasi warga pembela lingkungan. Karena mereka adalah korban, bukan pelaku.
Ketiga, libatkan publik secara aktif dalam revisi RTRW Sulawesi Tenggara, agar tata ruang tidak lagi dikendalikan oleh elite.
Keempat, pihak perusahaan harus memulihkan kerusakan, membayar ganti rugi secara adil, dan membuka dokumen FPIC (persetujuan masyarakat).
Kelima, rantai pasok global harus menghentikan kerja sama dengan pelaku perusakan lingkungan dan melakukan uji tuntas HAM dan lingkungan.
Kabaena bukan satu-satunya. Ia adalah cermin bagaimana negara memperlakukan pulau-pulau kecil: sebagai objek eksploitasi, bukan subjek kehidupan.
Jika Kabaena dibiarkan, maka jangan heran bila satu per satu pulau kecil Indonesia lenyap—bukan karena naiknya air laut, tapi karena dijual atas nama “pembangunan.”
Pulau kecil itu dijarah dalam sunyi. Namun sunyi bukan berarti kalah. Kini saatnya suara-suara dari pinggiran menjadi arus utama. Karena di sanalah, keadilan menemukan bentuk paling nyatanya: hak untuk hidup, di tanah sendiri.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya