JAKARTA, KOMPAS.com - Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) melakukan sejumlah langkah transisi energi.
CEO Pertamina NRE, John Anis, menjelaskan bahwa pihaknya telah membeli 20 persen saham Citicore Renewable Energy Corporation (Citicore) Filipina dengan nilai investasi 120 juta dollar AS atau Rp 1,95 triliun.
"Kami punya pertimbangan strategis, salah satunya kalau dilihat RUPTL memang sudah 76 persen dengan 60 persen dari renewable 16 persennya untuk storage. Tetapi kalau lihat detail, tetap di lima tahun pertama itu renewable-nya enggak terlalu banyak," ungkap John dalam acara di Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).
Investasi tersebut, lanjut dia, sekaligus sebagai persiapan untuk panel surya domestik.
Baca juga: Pemanfaatan PLTS Atap Capai 445 MW, Terbanyak dari Sektor Rumah Tangga
Pasalnya, kapasitas terpasang PLTS khususnya PLTS atap di Indonesia pada 2024 baru mencapai sekitar 800 megawatt (MW). Berbanding terbalik dengan Filipina yang menargetkan 1 gigawatt (GW) kapasitas terpasang per tahunnya.
"Misalnya kalau kita membangun 1 megawatt mungkin di kita bisa satu-dua minggu, di sana mungkin sehari dua hari mereka bisa selesai. Berbicara soal solar panel kuncinya di konstruksinya, mereka punya pengalaman yang cukup panjang karena dari perusahaan konstruksi," jelas John.
"Jadi, itulah yang ingin juga kami ambil ya. Jadi, kami ada transfer pengetahuan, mengambil komitmen Indonesia sebagai transisi energi di Asia terutama di Asia Tenggara dan akselerasi kemampuan konstruksi," imbuh dia.
Pertamina NRE turut andil dalam pengembangan baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di dalam negeri. John menyatakan bahwa baterai EV ditargetkan bisa diproduksi pada 2026 mendatang.
Baca juga: Kombinasi Panel Surya Atap dan Baterai EV Penuhi 85 Persen Listrik Jepang
Pertamina NRE, selaku anak perusahaan Pertamina, ditunjuk untuk membangun ekosistem baterai EV sekaligus berperan dalam konsorsium yang dipimpin Antam, Indonesia Battery Corporation (IBC), dan Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CBL).
"Untuk fase pertama (kapasitas baterai) 6,9 gigawatt hour tetapi nanti akan ke 15 gigawatt hour, jadi tambah sekitar 8,1 untuk fase 2. Kami berharap juga bisa produksi segera di tahun 2026," tutur dia.
Dia menyebut, produksi baterai EV membutuhkan investasi yang sangat besar. Kendati demikian, John tak memerinci berapa nilai investasi tersebut.
"Di awal lebih banyak mungkin (bahan baku) lithium, tetapi ujung-ujungnya nanti nikel. Jadi ini bagian dari planning yang besar, masih panjang dan memang investasinya nanti cukup luar biasa," ujar John.
Baca juga: Pabrik Panel Surya Terbesar di Indonesia Bakal Produksi 1,4 Juta Lembar Per Tahun
Perusahaan pun berencana memproduksi battery electric vehicle (BEV) hingga baterai daur ulang. John menyebut, Pertamina NRE menggandeng LONGi Green Technology Co Ltd, produsen panel surya terbesar di dunia untuk membangun pabrik di Karawang, Jawa Barat.
"Kami mulai tentu saja masih SMB di awal. Tetapi, harapannya nanti kami bisa mulai ekspansi dulu terus mulai manufacturing. Bahkan cita-citanya, dan LONGi juga sudah setuju (Pertamina) bisa brand sendiri," ucap dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya