KOMPAS.com - Menurut survei terbaru dari Morgan Stanley, hampir sembilan dari sepuluh perusahaan melihat keberlanjutan sebagai peluang untuk menciptakan nilai.
Mereka berharap ini akan membawa banyak keuntungan, seperti profitabilitas yang lebih tinggi, pertumbuhan pendapatan, dan biaya modal yang lebih baik.
Survei ini juga menemukan bahwa perusahaan makin mahir dalam mengukur Return on Investment (ROI) dari investasi keberlanjutan, sehingga lebih mudah membandingkannya dengan prioritas alokasi modal lainnya.
Laporan "Sustainable Signals: Corporates 2025" tersebut dibuat berdasarkan survei terhadap lebih dari 330 eksekutif dari berbagai perusahaan besar (pendapatan lebih dari 100 juta dolar AS) di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Pasifik.
Melansir ESG Today, Senin (21/7/2025), survei Morgan Stanley menunjukkan bahwa 88 persen perusahaan kini memandang keberlanjutan sebagai cara untuk menciptakan nilai jangka panjang. Angka tersebut naik 3 persen dari tahun lalu.
Sementara mayoritas (53 persen) fokus pada penciptaan nilai murni, dan 35 persen lainnya melihatnya sebagai kombinasi penciptaan nilai dan pengelolaan risiko.
Baca juga: 5 Prasyarat agar Swasembada Pangan Sejalan dengan Keberlanjutan
Yang menarik, pertumbuhan paling signifikan dari perusahaan yang melihat keberlanjutan sebagai aspek penciptaan nilai terjadi di Amerika Utara dan Eropa, meningkat masing-masing 9 persen poin menjadi 89 persen, dan 10 persen poin menjadi 94 persen dibandingkan survei tahun sebelumnya.
Menurut survei, cara utama keberlanjutan menciptakan nilai dalam lima tahun ke depan adalah melalui peningkatan profitabilitas (disebutkan oleh 25 persen responden).
Disusul oleh pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi (19 persen), serta biaya modal yang lebih rendah dan visibilitas arus kas yang lebih baik (masing-masing 13 persen).
Survei pun menunjukkan perusahaan tidak hanya melihat potensi keuntungan dari keberlanjutan, tapi juga semakin pintar mengukurnya.
Kini, 83 persen eksekutif bisa menghitung ROI dari proyek keberlanjutan sama seperti proyek lainnya. Ini membantu mereka memutuskan di mana sebaiknya dana perusahaan dialokasikan.
Selain itu, survei juga menunjukkan peningkatan kepercayaan perusahaan terhadap strategi keberlanjutan mereka.
Kini, 65 persen eksekutif merasa strategi keberlanjutan perusahaan mereka memenuhi atau bahkan melebihi harapan, naik dari 59 persen tahun sebelumnya. Kepercayaan ini meningkat di semua wilayah, termasuk Amerika Utara, Eropa, dan Asia Pasifik.
Survei tersebut mengukur pula pandangan para eksekutif tentang tantangan paling signifikan dan pendorong potensial dari strategi keberlanjutan perusahaan mereka.
Hasilnya, biaya investasi yang tinggi tetap jadi hambatan utama secara global (24 persen responden), diikuti oleh ketidakpastian politik (17 persen).
Khusus di Amerika Utara, para investor lebih menyoroti ketidakpastian politik sebagai penghambat keberlanjutan dibanding investor dari wilayah lain.
Mengenai faktor pendorong, survei menemukan bahwa faktor yang paling umum disebut oleh para eksekutif sebagai yang paling penting dalam mewujudkan strategi keberlanjutan perusahaan mereka adalah kemajuan teknologi (33 persen).
Diikuti oleh lingkungan ekonomi dan operasional yang mendukung sebesar 32 persen, dan meningkatnya permintaan pelanggan sebesar 28 persen.
Baca juga: Studi Ungkap Konsumen Harapkan Bisnis Atasi Perubahan Iklim
Meskipun para eksekutif semakin melihat keberlanjutan sebagai peluang penciptaan nilai, survei juga menemukan adanya peningkatan kesadaran akan risiko.
Menurut laporan tersebut, 57 persen eksekutif melaporkan bahwa perusahaan mereka telah mengalami peristiwa terkait iklim selama 12 bulan terakhir yang memengaruhi operasional, dengan responden dari Asia Pasifik (APAC) menjadi yang paling mungkin mengalaminya, yaitu 73 persen.
Peristiwa yang paling sering disebutkan meliputi panas ekstrem sebesar 55 persen responden, diikuti oleh cuaca ekstrem atau badai sebesar 53 persen, dan kebakaran hutan atau asap sebesar 36 persen.
Dampak bisnis spesifik terkait iklim yang dialami selama 12 bulan terakhir meliputi peningkatan biaya operasional pada 54 persen responden, gangguan pada tenaga kerja pada 40 persen, dan kerugian pendapatan karena gangguan bisnis atau kegagalan rantai pasokan pada 39 persen.
Menurut survei sebanyak 60 persen responden mengantisipasi dampak negatif dari risiko fisik terkait iklim dalam 5 tahun ke depan.
Selain itu, lebih dari dua pertiga juga mengantisipasi bisnis mereka akan terdampak oleh risiko transisi iklim.
Walaupun sadar akan risiko iklim, sebagian besar perusahaan (lebih dari 80 persen) merasa cukup atau sangat siap untuk menghadapi dan meningkatkan ketahanan terhadap ancaman tersebut.
"Laporan ini menyimpulkan bahwa keberlanjutan adalah kunci untuk menciptakan nilai jangka panjang. Perusahaan kini semakin menyatukan strategi bisnis dengan prioritas keberlanjutan untuk membangun usaha yang kuat dan siap menghadapi tantangan di masa depan," ungkap Jessica Alsford, Chief Sustainability Officer dan Ketua Institute for Sustainable Investing di Morgan Stanley.
Baca juga: Bright Side Tarif 19 Persen AS, Peluang bagi Produk Hijau dan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya