KOMPAS.com - Untuk memprediksi badai lebih akurat, para peneliti menggunakan bantuan yang tidak dibayangkan sebelumnya: hiu.
Para peneliti melengkapi tiga hiu di Samudra Atlantik dengan sensor. Cara ini adalah pendekatan baru yang unik, berbeda dari metode tradisional yang dilakukan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dengan menggunakan pesawat.
“Lautan begitu luas, begitu dahsyat, sehingga sebagian besar tidak dapat diakses oleh apa pun,” ujar Aaron Carlisle, ahli ekologi kelautan dari University of Delaware yang memimpin upaya tersebut, dikutip dari Independent, Sabtu (26/7/2025).
Namun dengan memasang alat pada hewan laut, para ilmuwan bisa menjadikannya seperti sensor berjalan yang terus-menerus mengumpulkan data penting dari lautan.
Hiu-hiu yang dipasangi sensor nantinya bertugas mengukur konduktivitas dan suhu air laut. Data ini penting karena suhu permukaan laut yang ekstrem belakangan ini, yang disebabkan oleh pemanasan global, telah memicu badai yang lebih besar dan lebih kuat.
Baca juga: Peneliti Soroti Dampak Naiknya Air Laut Terhadap Kehidupan Masyarakat Pesisir
Walaupun belum tentu hiu-hiu ini akan berenang langsung ke dalam badai, data suhu yang mereka kumpulkan sangat berharga. Data ini membantu para ilmuwan memprediksi jalur dan kekuatan badai yang akan datang, sehingga AS bisa bersiap lebih baik setiap musim badai.
Hiu bisa mendapatkan data yang sulit dijangkau karena satelit hanya bisa memantau permukaan laut, sementara robot bawah air (glider) yang biasa digunakan terlalu lambat dan mahal. Posisi hiu sebagai predator puncak juga memberi mereka akses unik ke informasi penting di dalam lautan.
Tag atau tanda pada hiu memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data tersebut dengan lebih efisien.
Dalam skenario ini dua hiu mako dipasangi tag untuk mengukur suhu, kedalaman, dan konduktivitas. Sementara seekor hiu putih dipasangi tag satelit untuk membantu mengevaluasi apakah spesies ini bisa menjadi kandidat yang baik untuk pemasangan tag serupa di masa depan. Mereka juga mungkin akan menguji hiu martil dan hiu paus.
"Mereka lebih efisien daripada robot glider karena lebih cepat dan bisa berada di laut lebih lama. Harapannya hiu-hiu ini bisa melengkapi dan bekerja sama dengan alat pemantau cuaca yang sudah ada saat ini," ungkap Caroline Wiernicki, seorang ahli ekologi hiu dan mahasiswa PhD.
Ke depannya, rencananya adalah menandai puluhan hiu setiap tahun dan memasukkan data tersebut ke dalam model komputer badai.
Sejauh ini, Carlisle mengatakan salah satu dari dua hiu tersebut telah mengirimkan data suhu kepada mereka, tetapi hiu yang lain berenang di air yang terlalu dangkal sehingga sensor tidak dapat menyala.
Baca juga: Laju Kenaikan Permukaan Air Laut Melonjak 2 Kali Lipat
Para peneliti mengatakan bahwa mereka memilih hiu mako karena mereka sering kembali ke permukaan, sehingga memungkinkan penanda mengirimkan data ke satelit untuk diambil oleh para ilmuwan.
Hiu mako juga mampu berenang dengan kecepatan lebih dari 64 kilometer per jam.
Peneliti juga memastikan bahwa sensor yang dipasangkan pada hiu tidak akan berdampak buruk bagi sirip dan menyakiti hewan.
Saat ini, satu dari tiga spesies hiu dan pari terancam punah. Menurut International Fund for Animal Welfare, penangkapan ikan yang berlebihan telah menyebabkan populasi hiu dan pari global turun lebih dari 70 persen sejak tahun 1970-an.
Organisasi amal ini mencatat bahwa manusia membunuh sekitar 190 hiu per menit dan 100 juta hiu setiap tahun dalam perikanan komersial.
Baca juga: Akibat Krisis Iklim, Risiko Tabrakan Hiu Paus dengan Kapal Semakin Tinggi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya