KOMPAS.com - Apparel Impact Institute (AII) mencatat emisi iklim di industri fashion melonjak 7,5 persen hanya dalam satu tahun.
Industri ini pun kini bertanggung jawab atas hampir 2 persen polusi iklim global.
Lonjakan emisi ini terjadi pada tahun 2023, setelah sempat menurun tipis 1,17 persen pada tahun 2022, dan beberapa tahun sebelumnya yang datar.
Dan menurut laporan tersebut salah satu penyebab utama kenaikan ini adalah maraknya penggunaan polyester murni, salah satu jenis plastik.
“Kita membaca tentang merek-merek yang mulai meninggalkan batu bara, berinvestasi pada energi terbarukan, dan berupaya mengurangi karbon dalam rantai pasok. Namun, kita juga melihat emisi masih saja naik,” kata Ryan Gaines, Chief Financial Officer AII.
Baca juga: Kurangi Sampah “Fast Fashion” lewat Gerakan Barter Pakaian
“Kesenjangan inilah yang paling mengkhawatirkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun setiap pemain di industri membuat kemajuan, sistem secara keseluruhan masih berorientasi pada volume, kecepatan, dan fragmentasi ketidakseragaman," katanya dikutip dari Trellis, Jumat (25/7/2025).
Lynda Grose, seorang pengajar desain fashion di California College of the Arts mengungkapkan temuan tersebut tidak mengejutkan karena industri telah lama menyadari volume emisi karbon terbesar dihasilkan dalam proses pembuatan barang baru.
Ia juga menambahkan bahwa industri seharusnya membuat lebih sedikit barang baru, terutama yang berasal dari bahan bakar fosil. Selain itu, perlu ada insentif untuk membatasi produksi produk baru dan meningkatkan cara-cara lain untuk menghasilkan pendapatan.
Dan dari laporan tersebut kemudian terungkap bahwa polyester menyumbang 57 persen dari semua serat yang digunakan dalam industri fashion.
Pada tahun 2023, perusahaan menggunakan 71,1 juta metrik ton polyester, naik dari 63,3 juta metrik ton di tahun 2022.
Pada saat yang sama, persentase polyester daur ulang dari total polyester justru turun dari 13,6 persen menjadi 12,5 persen.
Menurut laporan itu, merek-merek pun harus meningkatkan penggunaan bahan-bahan yang lebih baik.
Baca juga: Mengapa Slow Fashion Sulit Jadi Tren?
Perusahaan juga tidak hanya harus berhenti memproduksi lebih banyak pakaian daripada yang bisa mereka jual, tetapi juga harus serius dalam menghilangkan bahan bakar fosil dari rantai pasok mereka.
Laporan AII kemudian mencatat bahwa 55 persen emisi industri berasal dari pembuatan material, seperti tekstil dan hiasan. Diikuti oleh ekstraksi bahan mentah seperti kapas, kulit hewan, bahan bakar fosil sebesar 22 persen.
Lalu, pemrosesan bahan menyumbang 15 persen, dan produksi akhir hanya menyumbang 8 persen.
Tidak ada yang mengatakan bahwa mengurangi jejak karbon industri fashion itu mudah.
Kendati demikian jumlah perusahaan pakaian yang memiliki target net zero (nol emisi bersih) yang disetujui oleh Science-Based Targets initiative telah berkembang pesat, dari sekitar belasan perusahaan pada tahun 2019 menjadi 600 perusahaan pada bulan April tahun ini.
Untuk itu para profesional keberlanjutan perusahaan seharusnya berkolaborasi dengan tim lain seperti pengadaan, desain produk, keuangan, dan lainnya.
Kolaborasi ini bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan rencana aksi transisi iklim yang dapat mengambil tindakan mendesak dan dalam jangka pendek terhadap emisi.
Baca juga: Tekstil Hijau dari Kombucha, Revolusi Fesyen Ramah Lingkungan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya