JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS berkapasitas 100 gigawatt (GW) dapat menjawab tantangan transisi energi.
Pemerintah berencana membangun 80 GW PLTS dan 320 GWh battery energy storage system (BESS) yang akan dikelola Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di 80.000 desa, dan 20 GW PLTS terpusat.
CEO IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya dengan kapasitas 3.300 GW-20.000 GW.
“Apabila terlaksana dengan baik, proyek ini akan menjadi inisiatif elektrifikasi desa dan program pembangkit energi terbarukan terdistribusi yang terbesar di Asia Tenggara," ungkap Fabby dalam keterangannya, Jumat (8/8/2025).
Baca juga: Wacanakan Bangun PLTS di 80.000 Desa, Pemerintah Butuh Rp 1.630 Triliun
"Serta akan mengatasi tantangan penyediaan energi yang berkualitas, merata dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia,” imbuh dia.
Fabby menyebutkan bahwa PLTS akan menyelesaikan tiga persoalan di Indonesia. Pertama, akses energi listrik yang andal, berkualitas, dan terjangkau bagi masyarakat desa.
Kemudian, sebagai substitusi pembangkit listrik tenaga fiesel (PLTD) guna mengurangi biaya produksi maupun subsidi tenaga listrik. Terakhir, meningkatkan bauran energi terbarukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Inisiatif ini juga dapat memberikan manfaat ekonomi yaitu meningkatkan daya saing dan kapasitas industri fotovoltaik dalam negeri dengan menyerap produksi modul surya dan baterai," ucap Fabby.
Dengan begitu, dapat mendorong investasi di seluruh rantai pasok teknologi sel dan modul surya dan penciptaan lapangan kerja hijau. Selain itu, menggerakkan ekonomi di desa.
Di sisi lain, proyek pembangunan PLTS 100 GW menghadapi tantangan terutama pada tahap persiapan dan implementasi.
Oleh sebab itu, Fabby mengusulkan agar pemerintah memilih lokasi sesuai kebutuhan beban listrik hingga kelayakan teknisnya. Keterlibatan perguruan tinggi sangat diperlukan untuk merancang sekaligus mempersiapkan proyek PLTS.
Baca juga: Pemanfaatan PLTS Atap Capai 445 MW, Terbanyak dari Sektor Rumah Tangga
"Kedua, pembangunan 1 MW PLTS, 4 MWh BESS membutuhkan setidaknya 30-50 orang tenaga kerja berbagai level dalam periode sembilan sampai 12 bulan dari tahap persiapan sampai pengujian akhir," jelas dia.
Pasalnya tenaga kerja dengan keahlian tinggi untuk melakukan konstruksi maupun pembangunan PLTS dan BESS masih sangat terbatas.
Pemerintah perlu memetakan kebutuhan tenaga kerja dan mempersiapkan pemasang yang bersertifikasi melalui kerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK), sekolah vokasi, ataupun perguruan tinggi.
Program pelatihan juga harus menjangkau komunitas lokal di sekitar lokasi proyek. Ketiga, perencanaan dan implementasi membutuhkan koordinasi kementerian, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, serta swasta.
Untuk itu presiden perlu menjadikannya sebagai Program Strategis Nasional (PSN) dan membentuk Satuan Tugas.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan pihaknya sedang membangun desain PLTS berkapasitas 100 untuk mendorong ketersediaan listrik bagi Kopdes Merah Putih,.
Dengan demikian, mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, dan listrik yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Langkah ini juga menjadi upaya untuk mendorong swasembada energi dan mendukung transisi energi.
"Kami kan lagi membangun desain besar. Salah satu yang kita akan bangun itu lah PLTS untuk semua desa-desa. Semua kampung-kampung kita PLTS," tutur Bahlil, Selasa (5/8/2025).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya