JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University sekaligus ilmuwan senior Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, mengungkapkan maraknya pembakaran lahan gambut terjadi karena nilai jual tanah yang lebih tinggi.
Studi menunjukkan bahwa pembakaran membuat lahan lebih mudah ditanam karena semak yang tumbuh di atasnya langsung habis tak bersisa.
"Kalau sudah dibakar, sudah hilang itu siap ditanam sawit akan subur sekali. Jadi kalau di studi kami harga lahan akan naik kalau sudah dibakar, dan siap ditanam nanti musim hujan," ujar Herry saat dihubungi, Senin (11/8/2025).
Herry mencatat, harga lahan bisa naik hampir 40 persen setelah dibakar. Sebaliknya, jika masih ada tanaman liar yang tumbuh karena tidak dibakar maka harga tanah akan jauh lebih murah.
Baca juga: Menhut: Angka Karhutla Turun, Presiden Targetkan Nol Kasus
"Biasanya 1 hektare Rp 8 juta kalau di luar Jawa murah ya lahan. Kalau sudah dibakar itu bisa Rp 12 juta per 1 hektare, jadi memang (membakar) menaikkan nilai lahan," tutur dia.
Di Riau, misalnya, Herry sempat mencoba membuka lahan seluas 3 ha untuk agroforestry nanas dan gaharu melalui cara konvensional. Diperlukan biaya hingga Rp 6 juta per 1 ha untuk mengolah lahan. Sedangkan, sengaja membakarnya hanya memerlukan modal Rp 200.000.
Mayoritas pembakar hutan dan lahan sendiri merupakan orang suruhan korporasi yang akan menggunakan tanahnya untuk perkebunan.
"Jadi yang kami tahu ada menyuruh orang supaya enggak ketahuan, agak sedikit profesional membakarnya. Kalau menyuruh orang lebih mudah, informasi kami waktu itu harga jasanya sekitar Rp 300.000 per hektare," ungkap Herry.
Petani kecil, lanjut dia, tidak mudah mendapatkan traktor untuk mengelola lahannya. Karenanya pemerintah daerah perlu menyediakan traktor bagi mereka.
Baca juga: Karhutla 2025 Perparah Krisis Iklim dan Membuat Cuaca Makin Panas
Di sisi lain, Herry menyatakan kendati penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan telah meningkat, praktik ini tetap saja marak terjadi di berbagai daerah.
Fenomena tersebut tidak semata-mata disebabkan lemahnya aparat, tetapi erat dengan ekonomi, politik, hingga status kepemilikan lahan. Banyak hutan ataupun lahan justru dikuasai pendatang, lalu dibuka secara ilegal.
"Jual beli lahan juga gampang, jadi pasti mereka tidak akan mengolah lahan ini secara sustainable,. Tanahnya ilegal, mengolahnya juga ilegal sebenarnya, ya sudah dibakar saja (dianggap) siapa tahu tidak ketahuan dan memang banyak yang tidak ketahuan," jelas Herry.
Dia lantas meminta pemerintah memberikan insentif bagi petani yang mengelola lahan tanpa membakar, khususnya di lahan basah seperti gambut.
Herry menilai dana lingkungan hidup yang mencapai puluhan triliun dapat dialokasikan untuk mendukung pertanian berkelanjutan, seperti penanaman jelutung, gaharu, ataupun meranti rawa.
"Harus ada ecological fiscal transfer, memberi insentif ke masyarakat dengan tidak membakar atau pertanian lahan basah tidak perlu membakar. Intervensi di situ, tidak semua dibiarkan bersaing sendirian," ucap dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya