Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar IPB Ungkap Nilai Jual Tanah Jadi Pemicu Utama Pembakaran Lahan

Kompas.com, 13 Agustus 2025, 15:10 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University sekaligus ilmuwan senior Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, mengungkapkan maraknya pembakaran lahan gambut terjadi karena nilai jual tanah yang lebih tinggi.

Studi menunjukkan bahwa pembakaran membuat lahan lebih mudah ditanam karena semak yang tumbuh di atasnya langsung habis tak bersisa.

"Kalau sudah dibakar, sudah hilang itu siap ditanam sawit akan subur sekali. Jadi kalau di studi kami harga lahan akan naik kalau sudah dibakar, dan siap ditanam nanti musim hujan," ujar Herry saat dihubungi, Senin (11/8/2025).

Herry mencatat, harga lahan bisa naik hampir 40 persen setelah dibakar. Sebaliknya, jika masih ada tanaman liar yang tumbuh karena tidak dibakar maka harga tanah akan jauh lebih murah.

Baca juga: Menhut: Angka Karhutla Turun, Presiden Targetkan Nol Kasus

"Biasanya 1 hektare Rp 8 juta kalau di luar Jawa murah ya lahan. Kalau sudah dibakar itu bisa Rp 12 juta per 1 hektare, jadi memang (membakar) menaikkan nilai lahan," tutur dia.

Di Riau, misalnya, Herry sempat mencoba membuka lahan seluas 3 ha untuk agroforestry nanas dan gaharu melalui cara konvensional. Diperlukan biaya hingga Rp 6 juta per 1 ha untuk mengolah lahan. Sedangkan, sengaja membakarnya hanya memerlukan modal Rp 200.000.

Mayoritas pembakar hutan dan lahan sendiri merupakan orang suruhan korporasi yang akan menggunakan tanahnya untuk perkebunan.

"Jadi yang kami tahu ada menyuruh orang supaya enggak ketahuan, agak sedikit profesional membakarnya. Kalau menyuruh orang lebih mudah, informasi kami waktu itu harga jasanya sekitar Rp 300.000 per hektare," ungkap Herry.

Petani kecil, lanjut dia, tidak mudah mendapatkan traktor untuk mengelola lahannya. Karenanya pemerintah daerah perlu menyediakan traktor bagi mereka.

Baca juga: Karhutla 2025 Perparah Krisis Iklim dan Membuat Cuaca Makin Panas

Di sisi lain, Herry menyatakan kendati penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan telah meningkat, praktik ini tetap saja marak terjadi di berbagai daerah.

Fenomena tersebut tidak semata-mata disebabkan lemahnya aparat, tetapi erat dengan ekonomi, politik, hingga status kepemilikan lahan. Banyak hutan ataupun lahan justru dikuasai pendatang, lalu dibuka secara ilegal.

"Jual beli lahan juga gampang, jadi pasti mereka tidak akan mengolah lahan ini secara sustainable,. Tanahnya ilegal, mengolahnya juga ilegal sebenarnya, ya sudah dibakar saja (dianggap) siapa tahu tidak ketahuan dan memang banyak yang tidak ketahuan," jelas Herry.

Dia lantas meminta pemerintah memberikan insentif bagi petani yang mengelola lahan tanpa membakar, khususnya di lahan basah seperti gambut.

Herry menilai dana lingkungan hidup yang mencapai puluhan triliun dapat dialokasikan untuk mendukung pertanian berkelanjutan, seperti penanaman jelutung, gaharu, ataupun meranti rawa.

"Harus ada ecological fiscal transfer, memberi insentif ke masyarakat dengan tidak membakar atau pertanian lahan basah tidak perlu membakar. Intervensi di situ, tidak semua dibiarkan bersaing sendirian," ucap dia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Pemerintah
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
LSM/Figur
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
BUMN
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Swasta
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pemerintah
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
LSM/Figur
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
LSM/Figur
Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau