KOMPAS.com - Para peneliti dari McKelvey School of Engineering di Washington University menemukan konsentrasi karbon hitam di udara wilayah negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin atau sering disebut Global Selatan jumlahnya jauh lebih besar dari perkiraan.
Karbon hitam sendiri merupakan jelaga hasil sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna dan telah menjadi kontributor utama perubahan iklim serta berdampak pada kesehatan manusia.
Temuan tersebut didapat setelah peneliti menggunakan pemodelan untuk mengukur konsentrasi karbon hitam di udara wilayah Global Selatan.
Melansir Phys, Selasa (5/8/2025) dalam studinya, peneliti memusatkan perhatian pada konsentrasi karbon hitam di wilayah global selatan di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Karibia.
Peneliti kemudian menemukan bahwa konsentrasi karbon hitam di wilayah berpenghasilan rendah dan menengah di seluruh global selatan yang tercatat atau diperkirakan selama ini 38 persen lebih rendah dari jumlah emisi yang benar-benar ada di lapangan.
Baca juga: RI Usulkan Pendanaan Iklim Rp 1,4 T ke GCF untuk Pangkas Emisi
Sederhananya, jika perkiraan awal adalah 100 unit emisi, maka jumlah emisi sebenarnya adalah 138 unit.
Sehingga dengan kata lain, jumlah karbon hitam yang dilepaskan ke udara di wilayah tersebut lebih banyak dan lebih serius daripada yang selama ini diasumsikan atau dicatat dalam data.
Tim peneliti melakukan simulasi dengan data dari Community Emissions Data System, Emissions Database for Global Atmospheric Research, dan Task Force on Hemispheric Transport of Air Pollution.
Dengan menggunakan model komposisi atmosfer open-source bernama GEOS-Chem, mereka bisa menghubungkan emisi global dengan pengukuran lokal secara lebih baik.
Namun, mengukur karbon hitam tidak semudah kedengarannya. Itu karena berbagai wilayah di daerah tersebut menggunakan bahan bakar berbeda yang berkontribusi pada karbon hitam, sehingga sulit untuk melakukan perbandingan yang setara.
"Di daerah tersebut, ada berbagai kegiatan pembakaran, misalnya pembakaran kayu dan arang untuk memasak dan pemanas rumah tangga," kata Yuxuan Ren, mahasiswa doktoral dan salah satu peneliti studi.
"Biasanya, penyusun data emisi akan menjumlahkan total bahan bakar dari semua sumber ini untuk memperkirakan emisi karbon hitam. Karena sulitnya membandingkan data dari berbagai wilayah, memperkirakan emisi dari sumber yang tersebar dan tidak efisien ini menjadi tantangan dan berpotensi memicu bias. Kami menduga inilah penyebab utama perkiraan karbon hitam yang terlalu rendah," terangnya.
Lebih lanjut, wilayah dengan perkiraan emisi yang paling rendah ditemukan di Dhaka, Bangladesh (berasal dari pembakaran limbah pertanian, sisa tanaman, kayu bakar, kotoran sapi, dan tungku bata).
Baca juga: BNPB Ingatkan Mahalnya Biaya Akibat Abaikan Risiko Perubahan Iklim
Wilayah berikutnya adalah Addis Ababa, Ethiopia (berasal dari kendaraan berat diesel dan kayu bakar) Ilorin, Nigeria (infrastruktur minyak dan gas yang tidak teratur), Kota Meksiko, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dan juga Bujumbura, Burundi ( berasal ketergantungan pada generator diesel dan minyak tanah) serta Kanpur, India.
Selain itu perkiraan emisi karbon hitam yang dua hingga empat kali lebih rendah dari jumlah sebenarnya menunjukkan bahwa efek radiasi dan dampak kesehatan dari karbon hitam mungkin lebih besar juga dari yang diperkirakan sebelumnya.
Ini menyoroti pentingnya upaya mitigasi karbon yang berkelanjutan sehingga memberikan manfaat bagi iklim dan kesehatan.
Hasil penelitian ini pun menuntut perhatian baru untuk mengkarakterisasi karbon hitam berbahaya di udara pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di wilayah Global South.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya