PENDEKATAN agroforestri memungkinkan lahan terdegradasi dipulihkan agar kembali produktif, sehingga bukan hanya mencegah deforestasi, tetapi juga memperkuat sumber penghidupan masyarakat sekitar hutan.
Mengelola kawasan hutan melalui perhutanan sosial juga jembatan nyata antara pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi rakyat.
Program yang sejak awal digagas pemerintah ini memberi akses legal kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan secara lestari.
Hingga semester pertama 2025, lebih dari 8,3 juta hektar hutan telah diberikan izin kelola yang melibatkan 1,4 juta keluarga di hampir seluruh provinsi dengan 14.000-an Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) aktif.
Dampak ekonominya makin nyata, ditandai nilai transaksi petani hutan pada triwulan II 2025 yang mencapai Rp 1,57 triliun, naik 32 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Komoditas perkebunan seperti kopi, kakao, dan karet kini dibudidayakan berdampingan dengan tegakan pohon tanpa merusak hutan. Bahkan sebagian produk, seperti kopi Sarongge, sudah berhasil menembus pasar ekspor.
Baca juga: Menembus Pasar Premium Organik
Dalam kegiatan di Desa Selojari, Grobogan, Jawa Tengah, pada 10 Juli 2025, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menilai perhutanan sosial menyimpan potensi besar yang belum digarap optimal sehingga sinergi lintas sektor dan advokasi kebijakan publik menjadi sangat krusial.
Lebih dari sekadar angka, perkembangan ini membuktikan perhutanan sosial mampu melahirkan hutan yang lestari sekaligus menghadirkan kesejahteraan baru bagi rakyat.
Keberhasilan perhutanan sosial sangat dipengaruhi oleh jenis komoditas yang dikelola di dalam hutan. Komoditas perkebunan unggulan Indonesia seperti kopi, kakao, karet, pala, hingga kelapa pada dasarnya dapat disinergikan dengan konsep agroforestri.
Desa Sarongge di Cianjur, Jawa Barat, misalnya, menjadi contoh sukses kopi agroforestri. Kopi Sarongge yang tumbuh di hutan rakyat perhutanan sosial kini menembus pasar ekspor Jerman dan Korea Selatan.
Kesuksesan ini memberi bukti kuat bahwa produk lokal berbasis hutan bisa memiliki daya saing tinggi di pasar global.
Tidak heran bila pemerintah menjadikan model Sarongge sebagai inspirasi bagi daerah lain, yaitu menjaga tegakan pohon sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Kakao juga memiliki potensi besar dalam skema perhutanan sosial. Sebagai salah satu produsen kakao terbesar dunia, Indonesia menghadapi tantangan degradasi lahan dan menurunnya produktivitas.
Melalui pendekatan agroforestri kakao yang menggabungkan tanaman kakao dengan pohon peneduh, tanaman buah, atau pohon kayu, petani mampu memperbaiki kondisi lahan.
Sistem ini menambah bahan organik, mengurangi erosi, meningkatkan retensi air, sekaligus memperkaya keanekaragaman hayati.
Manfaatnya berlapis, di mana tanah tetap subur, hasil kakao terjaga, sementara tanaman sela seperti pisang, jagung, atau jahe memberi tambahan pendapatan dan mendukung ketahanan pangan keluarga petani.
Baca juga: Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Hal serupa berlaku pada karet. Jika dikelola secara monokultur, kebun karet rentan memiskinkan tanah dan mempercepat erosi.
Namun, dalam pola agroforestri, karet yang ditanam bersama tanaman lain terbukti berperan besar dalam konservasi tanah, air, dan keanekaragaman hayati.
Penelitian menunjukkan agroforestri karet lebih unggul dibanding monokultur, baik dalam meningkatkan cadangan karbon, mengurangi emisi gas rumah kaca, maupun menjaga habitat satwa.
Selain itu, pendapatan petani lebih terjamin berkat diversifikasi hasil. Model ini dapat diterapkan di kawasan hutan lindung maupun produksi, sehingga karet tidak hanya berfungsi sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga bagian dari upaya menjaga kelestarian hutan.
Pala dan kelapa turut memperkaya perhutanan sosial. Di Maluku, pala tumbuh subur dalam pola agroforestri di Pulau Banda dan Seram, menjaga ekosistem sekaligus melestarikan warisan budaya.
Dua kali panen pala dalam setahun mampu memberi pendapatan puluhan juta rupiah, ditambah nilai tambah dari pengolahan biji dan fuli untuk ekspor.
Sementara itu, pohon kelapa meski umumnya tumbuh di pinggir hutan atau kawasan perhutanan sosial, sering dipadukan dengan pinang, cengkeh, atau jati.
Bersama kopi, kakao, dan karet, komoditas ini termasuk dalam 10 besar ekspor perkebunan unggulan Indonesia.
Dengan budidaya yang lebih lestari, komoditas tersebut bukan menjadi penyebab deforestasi, melainkan justru “sahabat hutan”.
Pemerintah pusat kini serius menggaungkan perhutanan sosial sebagai strategi besar ketahanan pangan sekaligus swasembada nasional.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menekankan bahwa perhutanan sosial adalah potensi nyata yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal.
Melalui kolaborasi lintas sektor seperti Kementerian LHK, Kementan, Polri, DPR, hingga pemerintah daerah, berbagai kegiatan nyata dilakukan, salah satunya penanaman jagung serentak di kawasan hutan sosial.
Baca juga: Mengelola Dinamika Pasar dan Industri Kelapa Bulat
Pemerintah bahkan memproyeksikan jutaan hektar perhutanan sosial sebagai cadangan pangan strategis, mulai dari padi gogo, jagung, hingga umbi, melalui pola agroforestri yang ramah lingkungan.
Komitmen ini ditegaskan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto yang menginstruksikan sektor kehutanan mendukung swasembada pangan demi kedaulatan bangsa.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah mengidentifikasi 1,1 juta hektar hutan terdegradasi untuk ditanami pangan lokal secara legal.
Target awal pada 2025 saja sudah mencakup 111.000 hektar lahan sosial dan 30.000 hektar di hutan produksi Perhutani.
Data Kementerian LHK mencatat hingga 2024 luas pengelolaan perhutanan sosial mencapai 8,01 juta hektar, dan angka ini diproyeksikan terus meningkat sejalan dengan agenda pembangunan desa dan pangan nasional.
Lebih dari sekadar ketahanan pangan, perhutanan sosial sejalan dengan strategi pemerataan ekonomi nasional.
Selama lebih dari tiga dekade, kebijakan ini telah memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat sekaligus mendorong lahirnya unit usaha perhutanan sosial (KUPS) berbasis hasil hutan kayu, nonkayu, hingga jasa lingkungan.
Artinya, hutan tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelindung iklim dan air, tetapi juga sebagai sumber penghidupan.
Hasil hutan kini dapat dikomersialkan secara legal, pendapatan warga meningkat, dan kemitraan produktif ini terbukti mampu menekan deforestasi sekaligus memperkuat ketahanan pangan masyarakat.
Manfaat lain dari perhutanan sosial adalah terciptanya lapangan kerja hijau (green jobs) di desa. Kelompok tani hutan (KTH) mulai mengembangkan keterampilan baru, mulai dari teknologi pengolahan kopi, pemuliaan bibit kakao unggul, hingga konservasi lingkungan.
Produk yang dihasilkan didorong naik kelas melalui program sertifikasi, pendampingan, dan dukungan CSR perusahaan.
Di Situbondo, misalnya, komunitas kopi arboretum berhasil memetakan keragaman kopi lokal di tengah hutan dan mengembangkannya menjadi specialty coffee bernilai tinggi.
Sinergi antarkementerian pun diperkuat, di mana KLHK dan Kementan berbagi data tentang petani, komoditas, serta potensi lahan agar program perhutanan sosial selaras dengan kebutuhan ekspor sekaligus menjaga kelestarian hutan.
Ke depan, masa depan perhutanan sosial akan sangat ditentukan oleh kesinambungan antara kelestarian hutan dan kesejahteraan desa.
Komoditas hutan seperti kopi, pala, atau kelapa harus menjadi kawan hutan, bukan perusak ekosistem.
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan manfaat nyata, di mana program ini mampu menurunkan jumlah desa sangat tertinggal, menambah desa mandiri, sekaligus menjaga tutupan hutan tetap stabil.
Dengan pengelolaan yang cermat, perhutanan sosial dapat benar-benar menjadi masa depan hutan yang lestari sekaligus rakyat yang sejahtera.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya