KOMPAS.com – Bayangkan jika aktivitas sederhana, seperti berjalan kaki, menggendong anak, atau naik tangga berubah menjadi perjuangan berat karena napas terasa sesak.
Bagi jutaan penderita penyakit pernapasan kronis atau chronic respiratory diseases (CRD), kenyataan itu terjadi setiap hari. Penyakit ini membatasi gerak, menggerus kualitas hidup, dan sering kali membuat mereka merasa terpinggirkan dari perhatian utama layanan kesehatan.
Faktanya, menurut Global Burden of Disease Study 2021, hampir 470 juta orang di dunia hidup dengan CRD, dengan angka kematian mencapai 4,5 juta jiwa setiap tahun. Di Asia, jumlahnya lebih dari 65 juta orang, termasuk di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam.
Baca juga: Anak Asma Perlu Hindari Cokelat dan MSG, Ini Penjelasan Dokter...
Angka tersebut terus meningkat akibat polusi udara, kebiasaan merokok, dan paparan bahan berbahaya di tempat tinggal.
Meski prevalensinya tinggi, CRD belum menjadi prioritas utama kebijakan kesehatan di banyak negara. Akibatnya, pasien sering kali kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang layak, dari diagnosis hingga terapi.
Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia Esra Erkomay menegaskan, solusi atas tantangan ini terletak pada pembangunan akses kesehatan yang berkelanjutan.
“Menjawab tantangan penyakit pernapasan kronis tidak bisa dilakukan secara parsial. Kita butuh sistem kesehatan yang tangguh, adil, dan mampu bertahan dalam jangka panjang,” ujarnya dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Selasa (19/8/2025).
Di Indonesia, penyakit pernapasan kronis kian mengkhawatirkan. Data 2021 menunjukkan prevalensi asma sebesar 2,35 persen, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) 1,88 persen, dan CRD secara keseluruhan mencapai 4,19 persen.
PPOK bahkan menempati peringkat keenam penyebab kematian terbanyak.
Kerugian ekonomi akibat PPOK diperkirakan melampaui Rp 1.499 triliun dalam periode 2020–2050. Namun, fasilitas kesehatan dan tenaga medis masih terkonsentrasi di perkotaan.
Baca juga: AI dalam Layanan Kesehatan Indonesia: Menyeimbangkan Inovasi, Regulasi, dan Kepercayaan Publik
Menurut Esra, kondisi ini menunjukkan betapa kesenjangan akses kesehatan masih nyata. Ia menekankan bahwa di layanan primer, pengelolaan penyakit kronis belum optimal.
“Baru sekitar 37 persen program yang berjalan efektif. Itu artinya, masih banyak pasien yang tidak mendapatkan penanganan sesuai standar,” kata dia.
Esra menilai, akses kesehatan berkelanjutan mencakup sejumlah aspek penting. Mulai dari ketersediaan alat diagnosis di layanan primer, penyediaan obat esensial di semua tingkatan, hingga konsistensi penerapan panduan klinis.
Selain itu, literasi masyarakat dan pelatihan tenaga medis juga harus diperkuat.
“Kita perlu memastikan masyarakat memahami pentingnya pengobatan jangka panjang, sekaligus mendukung tenaga medis agar mampu memberikan layanan berkualitas,” ujar Esra.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya