KOMPAS.com – Total emisi gas rumah kaca dari subsektor peternakan Indonesia pada 2024 tercatat sebesar 24.499 ton CO2 ekuivalen.
Emisi tersebut terutama berupa metana (CH4) yang dihasilkan dari sendawa sapi serta kotoran kuda, babi, dan ternak ruminansia seperti sapi perah, sapi potong, kerbau, domba, hingga kambing.
"Harus ada mitigasinya ya. Yang benar itu, bagaimana kemudian proses penanganan kotoran itu dikelola supaya emisinya bisa ditangkap," ujar Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK, Franky Zamzani, dalam webinar Praktik Peternakan Berkelanjutan.
Menurut Franky, kontribusi emisi dari subsektor peternakan Indonesia relatif kecil dibanding negara lain.
Besarnya emisi sangat dipengaruhi jumlah ternak. Ia mencontohkan Selandia Baru, yang memiliki lebih banyak ternak dibanding populasi manusianya, sehingga emisi gas rumah kaca dari subsektor peternakan sangat besar.
Untuk memitigasi krisis iklim, jumlah populasi ternak perlu dikendalikan, dengan memilih jenis ternak yang lebih efisien serta menerapkan sistem produksi berkelanjutan.
Baca juga: Peternakan Sumbang Emisi Terbesar Sektor Pangan
Perubahan dalam penggunaan pakan juga penting, misalnya dengan menambahkan aditif untuk menekan produksi metana, meningkatkan kualitas pakan, serta meminimalkan pupuk sintesis.
Pengelolaan limbah ternak menjadi biogas atau pupuk organik juga dinilai krusial, karena tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga meningkatkan kesuburan tanah.
Selain itu, diperlukan langkah adaptasi, seperti mengatur jadwal pemberian pakan, menyediakan naungan, memperbanyak pasokan air minum, serta memilih ternak yang lebih tahan panas dan penyakit.
"(Kemudian, peternakan perlu) mengadopsi sistem produksi yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, seperti sistem agroforestri atau sistem integrasi tanaman dan peternakan sebagainya," tutur Franky.
Ia menegaskan, krisis iklim memberikan dampak langsung pada produktivitas, efisiensi pakan, kebutuhan air, serta perilaku ternak merumput di siang hari.
Dampak tidak langsungnya mencakup terganggunya proses produksi, perubahan kualitas dan kuantitas pakan, hingga meningkatnya risiko parasit dan penyakit.
"Yang kita lawan adalah suhu. Jadi, minimal mengurangi panasnya si tubuh sapinya dan (mengupayakan agar sapi) tetap mau makan, sehingga produktivitasnya tetap terjaga," ucapnya.
Baca juga: BRIN Kembangkan Finebubble, Tingkatkan Produktivitas Pertanian dan Peternakan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya