Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Di kedua tempat tersebut, negara mengerahkan aparaturnya secara masif yang seringkali bukan untuk melindungi warga, melainkan untuk melakukan represi, intimidasi, dan penggusuran paksa. Tujuannya tidak lain, yakni memuluskan proyek pembangunan.
Indikator ketiga adalah dampak penghancuran ekologis yang sistematis dan tidak dapat dipulihkan. Megaproyek food estate adalah contoh.
Baca juga: Habis Nepal Terbitlah Perancis dan Pelajaran bagi Indonesia
Alih-alih mencapai kedaulatan pangan, proyek ini justru meninggalkan warisan deforestasi masif dan lahan-lahan gagal panen.
Hal serupa terjadi pada kebijakan ekspor pasir laut yang mengancam menenggelamkan pulau-pulau kecil, atau penambangan nikel di pulau sekecil Raja Ampat yang risikonya merusak ekosistem secara permanen.
Perusakan ini tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga memusnahkan rangkaian ekosistem pendukung kehidupan manusia.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si' menyerukan "taubat ekologis"—sebuah perubahan hati yang mendalam, di mana kita mengakui dosa-dosa kita terhadap alam ciptaan, mengubah gaya hidup, dan membuat reparasi atas kerusakan yang telah kita perbuat.
Taubat ini menuntut kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita telah gagal, dan keberanian untuk mengubah arah secara fundamental.
Namun, alih-alih menempuh jalan pertobatan, para pemangku kebijakan tampaknya lebih nyaman memilih jalan pintas lain, yakni greenwashing.
Daripada menghentikan perusakan, kita seringkali lebih mendengar pemolesan citra. Narasi ‘hilirisasi nikel’ adalah contoh paling sempurna.
Sejatinya, tidak ada yang pernah menolak gagasan peningkatan nilai tambah sumber daya alam. Namun, narasi "hilirisasi nikel" yang didengungkan kian menjadi praktik greenwashing karena ia secara sengaja menuntut kita untuk hanya melihat keuntungannya, sambil menutup mata terhadap ongkosnya yang tak ternilai: jejak hitam kehancuran dari lubang-lubang tambang raksasa yang meracuni laut, hingga kini ancaman nyata di jantung segitiga karang dunia, Raja Ampat.
Baca juga: Reshuffle Kabinet Basa-basi Politik
Praktik greenwashing ini tidak berhenti disana. Babak selanjutnya adalah wacana untuk menyulap puluhan ribu lubang bekas tambang menjadi lahan produktif seperti perikanan dan pertanian.
Di atas kertas, ide ini terdengar solutif. Namun, riset dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) membongkar bahwa siasat ini sebagai upaya ‘cuci dosa’.
Lubang tambang adalah kubangan beracun yang penuh logam berat, di mana ikan yang dibudidayakan hidup kerdil dan airnya menurunkan produksi panen hingga 50 persen.
Wacana ini kian menunjukkan bentuk greenwashing, upaya melegitimasi pengabaian tanggung jawab dengan mengorbankan kesehatan publik dan keselamatan ekologis.
Greenwashing bekerja seperti ilusi. Ia adalah seni menenangkan nurani publik dengan jargon-jargon keberlanjutan, sementara praktik eksploitasi terus berjalan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya