Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Ketika pemerintah mengizinkan operasi tambang di Raja Ampat dengan janji "pengawasan ketat berlapis-lapis", itu adalah bentuk lain dari greenwashing—sebuah sedatif verbal untuk meredam kemarahan publik tanpa menyentuh akar masalahnya.
Lantas, dari mana keengganan untuk bertaubat dan kegemaran pada greenwashing ini berakar? Jawabannya terletak pada fondasi berpikir yang menopang seluruh kebijakan kita, yakni sebuah paradigma usang ‘antroposentrisme’.
Cara pandang inilah yang menempatkan manusia (dan kepentingan ekonomi jangka pendeknya) sebagai pusat dari segalanya, sementara alam hanyalah objek pasif yang siap dieksploitasi.
Baca juga: Dampak Guyuran Rp 200 Triliun Dana Pemerintah ke Bank terhadap Perekonomian
Selama paradigma ini menjadi dasar kebijakan negara, maka Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya akan menjadi formalitas administratif yang mudah diakali.
Jalan keluar dari spiral ekosida ini menuntut pergeseran fundamental menuju paradigma ekosentrisme. Sebuah pandangan dunia yang mengakui bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari jejaring kehidupan, di mana kesehatan kita bergantung sepenuhnya pada kesehatan ekosistem.
Dalam paradigma ini, melindungi Raja Ampat dan berbagai praktik perusakan lingkungan lainnya bukan lagi soal memilih antara konservasi dan ekonomi, melainkan keharusan untuk keberlanjutan peradaban.
Mengarusutamakan kebijakan berbasis ekosentrisme berarti menjadikan pertimbangan ekologis sebagai fondasi, bukan sekadar pelengkap atau pemanis. Ini berarti memberikan hak veto kepada valuasi ekologis dalam setiap pengambilan keputusan strategis.
Tindakan pragmatisnya berarti mengakui hak masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem.
Pada akhirnya, ‘taubat ekologis’ yang sesungguhnya bagi bangsa bukanlah sekadar program tanam pohon seremonial, melainkan keberanian untuk merombak total cara kita memandang alam dan merumuskan pembangunan.
Tanpa pertobatan fundamental ini, kita hanya akan terus menjadi saksi dari proses bunuh diri ekologis yang dilakukan dengan sadar.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya