Oleh Denny Gunawan*
KOMPAS.com - Menjelang Conference of the Parties ke-30 (COP 30) di Belém, Brasil, pada November 2025, Indonesia berencana menjadikan forum iklim tahunan ini sebagai ajang mencari pendanaan iklim. Salah satu strategi yang disiapkan adalah berjualan karbon.
Pemerintah akan membuka skema penjualan langsung atau sellers meet buyers untuk mempertemukan penjual kredit karbon dan pembeli kredit karbon di paviliun Indonesia. Langkah ini diklaim bukan sekadar instrumen lingkungan, tetapi juga motor transisi ekonomi.
Namun pertanyaannya, apakah strategi jualan karbon efektif untuk menurunkan emisi?
Indonesia sudah memiliki Bursa Karbon (IDXCarbon) sejak 2023 untuk memperdagangkan kredit karbon secara domestik.
Baca juga: Mau Proyek Sampah Jadi Energi Sukses? Kuncinya Duit, Transparansi, dan Kebijakan Jelas
Namun, sejak dua tahun beroperasi, nilai transaksinya baru sekitar Rp77,85 miliar dengan sekitar 1,6 juta ton CO? ekuivalen yang diperdagangkan per Juli 2025.
Nilai dan volume transaksi ini masih terlalu kecil dibandingkan total emisi nasional yang mencapai lebih dari 1 miliar ton setara CO? per tahun.
Selain itu, mayoritas pasokan unit karbon yang diperdagangkan masih berasal dari pembangkit energi fosil seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dalam konteks ini, sederhananya, industri yang belum bisa mengurangi emisi sesuai ambang batas kemudian membeli kredit karbon sebagai kompensasi atas kelebihan emisi tersebut.
Dengan demikian, unit karbon yang diperdagangkan dari pembangkit fosil adalah kredit karbon yang mewakili pengurangan emisi yang dibeli oleh pembangkit agar tetap sesuai dengan standar emisi yang berlaku.
Padahal, standar internasional lebih menekankan pentingnya kredit dari proyek-proyek karbon berintegritas tinggi (high integrity) seperti reforestasi, restorasi ekosistem, dan energi terbarukan yang secara nyata menekan emisi.
Kesimpulannya, kualitas pasokan kredit karbon Indonesia di bawah standar global dan hanya memperjuangkan proyek perusahaan ‘kuno’ yang masih memakai bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.
Lantas, bagaimana mungkin bursa karbon Indonesia menarik bagi pasar internasional?
Pengalaman global juga menunjukkan, mekanisme pasar karbon rentan gagal karena beberapa hal berikut:
Pengalaman perdagangan karbon internasional seperti European Union Emissions Trading System (EU-ETS) dan Clean Development Mechanism (CDM) menunjukkan mekanisme pasar karbon sangat rentan terhadap praktik greenwashing—klaim palsu penggunaan label hijau padahal sebenarnya cuma topeng untuk praktik bisnis yang merusak lingkungan.
Ini terjadi ketika perusahaan menggunakan kredit karbon yang dibelinya untuk mengkompensasi penggunaan bahan bakar fosil terus-menerus.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya