Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Oleh: Hasnur Rasid*
DI Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis, mentari pagi memantul di pucuk-pucuk mangrove yang rimbun. Di antara riak air dan akar yang menjulur, seorang lelaki sepuh melangkah perlahan. Namanya Samsul Bahri.
Pria 57 tahun ini telah selama lebih dari dua dekade menjadi garda terdepan perlindungan hutan di kampung pesisir yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Bagi Samsul, menjaga mangrove bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah ibadah, ikhtiar menjaga kampung dari abrasi dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di saat banyak orang tergoda menebang demi uang, Samsul justru menanam, merawat, dan berjaga. “Saya tidak butuh kaya,” katanya. “Yang penting kampung ini tetap ada.”
Padahal, secara ekonomi, ia bisa saja menjual lahan hutan yang ia tanami mangrove dan hidup berkecukupan. Tapi baginya, tanggung jawab terhadap generasi mendatang lebih besar daripada tawaran uang tunai.
“Kalau semua orang menjual pohon demi uang, siapa yang akan menjaga tanah ini untuk anak cucu?” ucapnya lirih.
Dulu, ia berpatroli sendirian, menegur para perambah. Kini, ia tak sendiri. Masyarakat mulai bangkit, tergabung dalam Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang yang beranggotakan 50 orang.
Organisasi ini dibentuk dan mendapat berbagai pelatihan peningkatan kapasitas dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Tujuannya, agar seluruh masyarakat di Desa Teluk Pambang, termasuk warga suku asli menjadi garda terdepan dalam melindungi alam mereka.
Namun perjuangan tidak selalu mulus. Oknum pengusaha arang ilegal terus membujuk dan berupaya menyuap, membenturkan kepentingan pribadi dengan keselamatan lingkungan.
Ketegangan memuncak pada Agustus 2025, saat mediasi di Kantor Desa Teluk Pambang. Samsul hadir sebagai tokoh masyarakat. Namun, alih-alih musyawarah, ia malah menjadi korban kekerasan oleh pelaku perambahan. Dihina, dipukul. Tubuhnya memang luka, tapi yang paling dalam adalah kecewa: bahwa kesetiaan selama puluhan tahun dibalas dengan kekerasan.
Namun, Samsul tidak gentar. Dengan dukungan LPHD dan pemerintah desa, laporan resmi dibuat. Visum dilakukan. Bukan untuk balas dendam, melainkan menuntut keadilan dan menegakkan hukum kehutanan. Agar kejadian ini tidak terulang, agar tidak ada lagi "Samsul-Samsul" lain yang terluka karena keberanian menjaga hutan.
Sayangnya, kisah ini bukan pengecualian. Provinsi Riau mencatat lebih dari 1,2 juta hektare lahan perkebunan ilegal (DLHK Riau, 2021), setara hampir 14 persen luas wilayah. Pemerintah pusat telah membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025, dan mulai menertibkan kawasan seperti Taman Nasional Tesso Nilo.
Namun di pesisir seperti Teluk Pambang, perlindungan hukum bagi penjaga hutan masih lemah, apalagi mereka tidak memiliki lencana. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 66 menyatakan bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Ini adalah payung hukum penting yang melindungi pejuang lingkungan seperti Samsul. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menjelaskan hak pelapor/pelindung lingkungan mendapat perlindungan dari ancaman, intimidasi, bahkan kekerasan fisik.
Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum masih lemah. Banyak laporan tersangkut di meja aparat. Karena itu, beberapa hal yang penting untuk dilakukan yaitu pertama terkait pendampingan hukum.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya