KOMPAS.com - Pemanfaatan teknologi radiasi pangan dapat meminimalisir hilangnya atau menurunnya kualitas makanan pada tahap produksi, pasca panen, pemrosesan, sampai distribusi dalam rantai pangan, sebelum mencapai konsumen akhir (food loss).
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN, Syaiful Bakhri menyebut, potensi kerugian ekonomi akibat food loss di Indonesia mencapai Rp 500 triliun per tahun.
"Salah satu tantangan untuk mewujudkan sawasembada pangan ini adalah masih tingginya angka food loss. Padahal, angka ini (potensi kerugian ekonomi) mungkin bisa kita reduksi dengan memanfaatkan teknologi radiasi," ujar Syaiful dalam webinar, Jumat (19/9/2025).
Ia menilai, teknologi radiasi pangan bisa memperpanjang umur simpan makanan dan mendukung rantai pasok, yang pada gilirannya mendukung swasembada pangan.
Pemanfaatan teknologi radiasi pangan sudah teruji di 60 negara. Bahkan, sejumlah negara menjadi teknologi radiasi pangan sebagai syarat karantina untuk masuk ke negara mereka.
Syaiful mengungkapkan, saat ini sudah ada sekitar 294 instalasi radiasi pangan dalam bentuk E-beam (berkas elektron) maupun iradiator. Namun, saat ini di Indonesia belum tumbuh industri pangan berbasis teknologi radiasi.
Baca juga: KPA: 3.406 Desa Sentra Pangan Diklaim Kawasan Hutan, Petani Terhimpit
Padahal, pemerintah daerah sebenarnya dapat membuat instalasi radiasi pangan. Misalnya, instalasi radiasi pangan di Kalimantan Timur.
"Tetapi, di Indonesia belum banyak berperan dalam hal ini. Mungkin ke depan, bagaimana kita bisa memperkuat kolaborasi di level nasional maupun internasional agar teknologi radiasi pangan yang ramah lingkungan dan aman ini bisa lebih dimanfaatkan untuk kedaulatan pangan kita sekaligus meningkatkan nilai tambah dan devisa ekspor di masing-masing daerah," tutur Syaiful.
Pemanfaatan teknologi tersebut untuk pangan menggunakan radiasi pengion berupa sinar gamma, sinar-X, atau berkas elektron.
Pemanfaatan teknologi itu bertujuan menginaktivasi mikroba patogen, mendesinfeksi serangga hama, memperpanjang masa simpan, menunda pematangan, serta menghambat pertunasan pada umbi-umbian.
"Yang kita radiasi adalah rempah-rempah, umbi-umbian, dan buah-buahan," ujar Peneliti Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN, Murti Indarwatmi.
Pemanfaatan teknologi radiasi memiliki sejumlah keunggulan daripada berbagai perlakuan serupa lainnya.
Pertama, efektif membunuh mikroba. Kedua, tidak meninggalkan residu. Ketiga, praktis. Keempat, terhindar dari reinfestasi hama. Kelima, kualitas produk tetap terjadi. Keenam, cocok untuk produk yang sensitif terhadap panas, karena proses non-termal.
"(Teknologi radiasi) ini dapat membunuh mikroba yang tersembunyi, itu telur dan hamanya ada di dalam buah, yang mungkin dengan perlakuan lain saya kira akan lebih susah. (Apalagi), kalau menggunakan fumigasi misalnya yang umum digunakan, nanti meninggalkan residu," ucapnya.
Baca juga: Celios Dorong 23 Ribu Desa Jadi Basis Pangan Restoratif, Kurangi Ketergantungan Beras
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya