Ribuan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tumbuh menopang ekonomi lokal, seiring derasnya arus investasi asing - terutama dari China- yang mencapai USD 63 miliar dalam satu dekade terakhir.
Namun di balik pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta multiplier effect tersebut, kutukan sumber daya alam tetap mengintai.
Daerah kaya mineral sering tampak makmur sesaat, tetapi jika tidak dikelola bijak, ia justru dapat membawa stagnasi, ketimpangan dan ketergantungan ekonomi, bukan kemakmuran yang berkelanjutan.
Itulah mengapa penting belajar dari Norwegia, Brunei, dan Bojonegoro. Norwegia pada 1970-an menata pengelolaan minyaknya dengan hati-hati: membangun infrastruktur, menjaga stabilitas fiskal dan nilai tukar, mencegah ketergantungan pada migas, serta membentuk dana abadi transparan yang kini bernilai Rp 31.000 triliun.
Brunei (1976–1979) dan Bojonegoro (2015–2017) juga pernah mengalami lonjakan pertumbuhan berkat migas, lalu menyalurkan pendapatan ke infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perumahan, tata kelola, serta dana abadi.
Pelajaran itu relevan bagi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Pemerintah pusat dan daerah perlu membangun tata kelola nikel yang transparan, adil, dan berorientasi jangka panjang. Infrastruktur publik, pendidikan, dan layanan kesehatan harus ditingkatkan, sementara dana abadi nikel bisa dibentuk untuk menjamin keberlanjutan manfaat bagi generasi mendatang.
Hilirisasi nikel dihadapkan pilihan yang rumit. Tidak dilakukan, peluang hilang. Bila dilakukan, perlu teknologi dan inovasi dari negara yang lebih maju. Saat dilakukan pun, dampak negatif tak terhindarkan, terutama pada lingkungan.
Tidak bisa dipungkiri, penambangan mengubah bentang alam, sementara proses pengolahan bijih nikel menjadi baja tahan karat maupun baterai kendaraan listrik memberi tekanan pada udara, air, tanah, serta menimbulkan tantangan sosial karena tidak serta-merta mengurangi ketimpangan sosial.
Upaya mitigasi sebenarnya sudah dijalankan melalui instrumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), penerapan Sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), hingga program Corporate Social Responsibility (CSR) di sekitar kawasan industri.
Di sisi lain, inovasi teknologi juga diadopsi, mulai dari pengurangan emisi, efisiensi energi dan produksi dalam teknologi piro dan hidrometalurgi, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), penghematan energi, hingga perhitungan jejak karbon dari smelter berbasis batu bara.
Namun, tata kelola lingkungan masih membutuhkan roadmap industri yang lebih kuat dan kepemimpinan yang visioner agar dampak negatif dapat diminimalkan.
Hilirisasi sejatinya bukan tanpa risiko, tetapi tanpa hilirisasi, mimpi untuk menciptakan nilai tambah, peluang kerja, dan lompatan pembangunan akan hilang begitu saja.
Hilirisasi pada akhirnya bukan hanya soal cadangan mineral, investasi, atau teknologi, melainkan tentang manusia yang berada di pusatnya - pekerja, keluarga, dan masyarakat yang ingin hidup lebih baik di tanah sendiri.
Selama manusia tetap menjadi tujuan utama, hilirisasi nikel dapat menjadi jalan menuju pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan bermakna.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya