Dalam perjalanan menuju sebuah kawasan industri nikel di Sulawesi, seorang penerjemah - sebut saja A, seseorang yang menjadi jembatan komunikasi antara pekerja Indonesia dan pekerja asing bercerita, bahwa ia bersyukur bisa bekerja di negeri sendiri dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran penerjemah di Indonesia.
Ia sudah melanglang ke Taiwan dan Malaysia, cukuplah kini perjuangan untuk keluarganya ia gantungkan kepada industri pengolahan nikel.
"Saya rasa ini mungkin akan menjadi tempat yang terakhir yang bisa saya lalui. Lebih baik di negeri sendiri daripada di negeri orang,” demikian pungkasnya.
Cerita kecil ini menjadi simbol kerasnya kehidupan di dunia, bahwa ia tidak semudah yang diomongkan. A bukanlah satu-satunya, masih ada ratusan ribu lainnya yang berharap tetap hidup layak, pendidikan yang lebih tinggi, dengan kerinduan melakukannya di negeri sendiri.
Nikel bukan hanya sekadar angka investasi ataupun angka ekspor. Ia membentuk desa, kota, provinsi, bahkan negeri. Harapan itu jelas dan terus bertumbuh.
Data Kementerian ESDM mencatat cadangan bijih nikel Indonesia sebesar 5,3 miliar ton. Jika produksi bertahan 200 juta ton per tahun tanpa eksplorasi baru, cadangan ini bisa habis dalam 25 tahun.
Namun dengan peralihan ke teknologi hidrometalurgi - mengolah nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik - yang lebih efisien dan rendah emisi dibanding pirometalurgi – mengolah nikel menjadi baja tahan karat -, umur cadangan dapat diperpanjang.
Meski begitu, teknologi hidrometalurgi sendiri masih memerlukan penyempurnaan agar benar-benar berkelanjutan.
Selain itu, sumber daya nikel nasional diperkirakan mencapai 17,7 miliar ton, memberi ruang eksplorasi lebih besar. Sementara itu, kebutuhan global terhadap stainless steel diproyeksikan tumbuh 4–6 persen per tahun hingga 2030.
Di sisi lain, permintaan baterai kendaraan listrik justru melonjak tiga kali lipat, ditambah kebutuhan pasar baterai smartphone dan penyimpanan energi. Kondisi ini membuka peluang pergeseran dominasi teknologi pengolahan ke hidrometalurgi.
Namun, perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari geopolitik global. Persaingan Amerika Serikat, Eropa, dengan China kini menjadikan baterai kendaraan listrik dengan nikel sebagai salah satu bahan baku utamanya sebagai panggung utama.
Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar dunia dan upayanya membuka pintu investasi untuk memperkuat kemandirian energi nasional, seolah menjadi rebutan. Satu pihak datang dengan membawa investasi dan teknologi, sementara pihak lain menyerang dengan kritik dan narasi seolah pandangannya paling benar.
Di tengah tarik-menarik kepentingan global itu, Indonesia ditantang menjaga kedaulatan kebijakan hilirisasi agar tidak hanya menjadi arena persaingan, tetapi tetap berdaulat menentukan arah pembangunan ekonominya sendiri.
Dampak nyata industri nikel sudah terlihat di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Perekonomian keduanya impresif, masing-masing tumbuh rata-rata 18,1n 11,9% pada 2021–2024, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kedua provinsi. Ini jauh melampaui rata-rata nasional maupun negara lain di Asia Tenggara.
Pendapatan daerah pun melonjak dua kali lipat dalam satu dekade, dengan proyeksi bisa menyamai provinsi termaju di Sulawesi yakni Sulawesi Selatan dalam 10–15 tahun ke depan. Industri nikel juga menyerap ratusan ribu tenaga kerja, memberi ruang bagi ribuan orang untuk menempuh pelatihan metalurgi, bahasa, hingga studi doktoral secara gratis ke China.
Ribuan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tumbuh menopang ekonomi lokal, seiring derasnya arus investasi asing - terutama dari China- yang mencapai USD 63 miliar dalam satu dekade terakhir.
Namun di balik pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta multiplier effect tersebut, kutukan sumber daya alam tetap mengintai.
Daerah kaya mineral sering tampak makmur sesaat, tetapi jika tidak dikelola bijak, ia justru dapat membawa stagnasi, ketimpangan dan ketergantungan ekonomi, bukan kemakmuran yang berkelanjutan.
Itulah mengapa penting belajar dari Norwegia, Brunei, dan Bojonegoro. Norwegia pada 1970-an menata pengelolaan minyaknya dengan hati-hati: membangun infrastruktur, menjaga stabilitas fiskal dan nilai tukar, mencegah ketergantungan pada migas, serta membentuk dana abadi transparan yang kini bernilai Rp 31.000 triliun.
Brunei (1976–1979) dan Bojonegoro (2015–2017) juga pernah mengalami lonjakan pertumbuhan berkat migas, lalu menyalurkan pendapatan ke infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perumahan, tata kelola, serta dana abadi.
Pelajaran itu relevan bagi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Pemerintah pusat dan daerah perlu membangun tata kelola nikel yang transparan, adil, dan berorientasi jangka panjang. Infrastruktur publik, pendidikan, dan layanan kesehatan harus ditingkatkan, sementara dana abadi nikel bisa dibentuk untuk menjamin keberlanjutan manfaat bagi generasi mendatang.
Hilirisasi nikel dihadapkan pilihan yang rumit. Tidak dilakukan, peluang hilang. Bila dilakukan, perlu teknologi dan inovasi dari negara yang lebih maju. Saat dilakukan pun, dampak negatif tak terhindarkan, terutama pada lingkungan.
Tidak bisa dipungkiri, penambangan mengubah bentang alam, sementara proses pengolahan bijih nikel menjadi baja tahan karat maupun baterai kendaraan listrik memberi tekanan pada udara, air, tanah, serta menimbulkan tantangan sosial karena tidak serta-merta mengurangi ketimpangan sosial.
Upaya mitigasi sebenarnya sudah dijalankan melalui instrumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), penerapan Sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), hingga program Corporate Social Responsibility (CSR) di sekitar kawasan industri.
Di sisi lain, inovasi teknologi juga diadopsi, mulai dari pengurangan emisi, efisiensi energi dan produksi dalam teknologi piro dan hidrometalurgi, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), penghematan energi, hingga perhitungan jejak karbon dari smelter berbasis batu bara.
Namun, tata kelola lingkungan masih membutuhkan roadmap industri yang lebih kuat dan kepemimpinan yang visioner agar dampak negatif dapat diminimalkan.
Hilirisasi sejatinya bukan tanpa risiko, tetapi tanpa hilirisasi, mimpi untuk menciptakan nilai tambah, peluang kerja, dan lompatan pembangunan akan hilang begitu saja.
Hilirisasi pada akhirnya bukan hanya soal cadangan mineral, investasi, atau teknologi, melainkan tentang manusia yang berada di pusatnya - pekerja, keluarga, dan masyarakat yang ingin hidup lebih baik di tanah sendiri.
Selama manusia tetap menjadi tujuan utama, hilirisasi nikel dapat menjadi jalan menuju pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan bermakna.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya