KOMPAS.com - Katanya, jadi guru itu soal passion. Namun bagi Rabiyati, meski ia memang punya panggilan mengajar, perjalanan hidupnya kerap berhadapan dengan konflik batin.
Masalahnya bukan pada profesi, melainkan lokasi kerja, sebuah sekolah di pelosok Kalimantan Tengah yang jauh dan sulit dijangkau.
Sejak 2021, Rabiyati ditempatkan di SMP Negeri 4 Kapuas Tengah, Desa Barunang, wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Dari awal, ia sebenarnya sudah keberatan.
"Aku sebagai Plt, karena ada mereka, PNS terdahulu yang tidak mau ditempatkan di sini. Cuma aku satu-satunya," katanya, Senin (29/9/2025).
"Aku sudah minta ke dinas (pendidikan untuk mengirim) banyak itu guru penggerak, terus orang-orang yang benar-benar kompeten, tapi enggak ada yang mau," imbuhnya.
Beban itu semakin berat karena ia harus berpisah dari suami yang tinggal di Pujon, desa tetangga Barunang.
Jaraknya hanya 25 kilometer, tapi kondisi jalan membuat perjalanan bisa memakan waktu berjam-jam.
Di tengah keterbatasan, Rabiyati juga harus mengajar sambil mengasuh anak perempuannya yang ikut tinggal bersamanya.
"Hanya ada beberapa orang saja yang benar-benar mau di tempatkan di sini, seperti titipan kan ya," ucapnya.
Baca juga: Dukung Pendidikan Inklusif, Garudafood Beri Beasiswa Santri Tunanetra hingga Anak Prasejahtera
Kini ada 14 guru di SMP Negeri 4 Kapuas Tengah, sebagian besar sudah berstatus PPPK, meski belum menerima SK. Namun, tak semua sanggup bertahan.
"Waktu dulu ada guru bahasa Inggris PPPK yang enggak mau ke sini," kisah Rabiyati.
"Entah gimana caranya bisa keluar dari sini padahal sudah PPPK. Kan syaratnya PPPK enggak boleh keluar ya. Pindah sama dengan mengundurkan diri, tapi ternyata bisa aja," lanjutnya.
Tantangan lain datang dari fasilitas sekolah. Sebelum memiliki bangunan pada 2018, SMP Negeri 4 sempat menumpang di kantor desa.
Hingga kini, listrik masih bergantung pada panel surya yang kerap terganggu saat hujan. Akses internet pun baru tersedia pada 2025, setelah sebelumnya hanya mengandalkan Wi-Fi berbayar.
Bahkan, sampai sekarang Rabiyati masih terus beradaptasi dengan kondisi sekolah dan murid-muridnya.
"Awal saya datang ke sini, saya sudah diwanti-wanti jangan kaget dengan kelakuan mereka (murid-murid di Barunang). Tapi, sekarang mereka sudah lumayan tertib," ujarnya.
Di balik semua keterbatasan, ada hal yang membuatnya bangga. Bidang kesenian justru menjadi keunggulan SMP Negeri 4 Kapuas Tengah. Murid-muridnya berhasil menorehkan prestasi dalam lomba karungut, tari, pramuka, hingga permainan tradisional.
Namun, di bidang akademik, mereka masih tertinggal. "Itu karena keterbatasan guru, motivasi anak, dan dukungan orang tua untuk kegiatan belajar mengajar masih kurang," kata Rabiyati.
Untungnya, ada sedikit dukungan dari sektor swasta. Pama Group membantu menyediakan fasilitas sekolah, rumah dinas, pelatihan guru, hingga program daur ulang sampah.
Perjuangan Rabiyati di Barunang menyisakan pertanyaan penting. Bagaimana pemerintah bisa mendukung kehidupan guru di perbatasan? Dan sejauh mana sektor swasta bisa ikut serta memajukan pendidikan di wilayah terpencil?
Baca juga: Pemotongan Dana Pendidikan Global Berpotensi Sebabkan 6 Juta Anak Putus Sekolah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya