JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 19 proyek penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) tengah dikembangkan di Indonesia. Executive Director Indonesia CCS Center (ICCSC), Belladonna Troxylon Maulianda, mengungkapkan proyek itu tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Fasilitas CCS yang dimaksud merupakan kombinasi dari sumur migas di daratan (onshore) dan sumur lepas pantai (offshore).
"Ini banyak proportionnya dari perusahaan asing dan juga perusahaan domestik," ungkap Belladonna dalam konferensi pers International & Indonesia Carbon Capture and Storage Forum di Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).
Blok migas yang menjadi calon proyek CCS antara lain dikerjakan ExxonMobil di Cekungan Asri dan Lapangan Gundih, Cepu, Jawa Tengah, Bp Indonesia Blok Tangguh Ubadari di Papua Barat, INPEX di Blok Masela, Maluku, serta Repsol di Blok Sakakemang, Sumatera Selatan. Menurut Belladonna, perusahaan domestik turut terlibat dalam proyek penangkapan dan penyimpanan karbon tersebut.
Baca juga: BKPM: Usia CCS RI Capai 200 Tahun, Berpotensi Simpan hingga 577 Ton CO2
"Pertamina bekerja sama dengan Exxon, Pertamina bekerja sama dengan Chevron. Pupuk Indonesia juga beraspirasi melakukan CCS untuk produksi blue ammonia, untuk penyusunan power plant, PLN juga sudah memasukannya di RUPTL 1 gigawatt tahun 2030 yang menegaskan CCS dengan PLTU," jelas dia.
Belladonna menyampaikan, CCS kini menjadi strategi dekarbonisasi yang paling diandalkan. Sebab, teknologi itu menangkap karbon langsung dari sumbernya lalu disimpan dengan kedalaman hingga 1,2 kilometer di bawah tanah.
"Kalau dibandingin sama teknologi lain, dia yang paling cepat, paling besar juga (penyerapan karbon)," ucap Belladonna.
Ia mencatat, Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon di bawah tanah mencapai 600 gigaton. Terkait potensi risiko dari penerapan CCS, Belladonna menegaskan teknologi ini bukan hal baru bagi industri migas di Indonesia.
Pemerintah telah mengadopsi standar internasional ISO ke dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk memastikan aspek keselamatan dan lingkungan.
"Kita juga ada international standard kayak ISO. Indonesia sudah adopt ISO di SNI ada sekitar empat SNI," sebut dia.
Baca juga: Investasi CCS yang Masuk Indonesia Capai Rp 640,79 triliun
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno, menuturkan pemerintah menargetkan net zero emissian pada 2060 atau lebih awal. Reduksi emisi dari industri bisa dilakukan melalui teknologi CCS,
"Jadi ke depannya kita akan transisi energi terbarukan menggunakan berbagai sumber mulai dari panas bumi, solar, angin, air, dan lain-lain. Tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan energi fosil yang kita miliki dengan cara capture emisi karbonnya," papar Edy.
Besarnya potensi penyimpanan karbon membuka peluang investasi. Proyek CCS kerja sama Pertamina dengan ExxonMobil, misalnya, mencapai nilai investasi 10 miliar dollar AS.
"Negara-negara yang mengemisikan karbon seperti Jepang, Korea, Taiwan, Singapura, memiliki karbon yang jumlah emisinya besar tetapi memiliki tempat penyimpanan yang kecil. Kita memiliki potensi yang besar sekali untuk menangkap ruang ini, masuk sebagai investasi di Indonesia," ujar dia.
Pemerintah kini tengah mempertimbangkan pemberian insentif bagi pengusaha yang membangun fasilitas CCS.
Baca juga: Tak Cuma Korporasi, Kemenhut Siapkan Masyarakat Adat Masuk Pasar Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya