KOMPAS.com - Indonesia perlu perencanaan matang dan terstruktur agar bisa mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat mencapai 100 persen bauran energi terbarukan pada 2050 atau lebih tinggi dari target kebijakan energi nasional (KEN).
Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) merekomendasikan strategi jangka pendek, jangka menengah, serta jangka panjang untuk menggapai target tersebut.
Baca juga: IEA: Kapasitas Energi Terbarukan Global Berlipat Ganda pada 2030
Terdapat tiga strategi dalam 1-2 tahun ke depan agar dapat mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan. Pertama, mengintegrasikan program 100 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan baterai tersebar ke dalam rencana pembangunan ekonomi desa berbasis energi terbarukan. Rencana tersebut perlu dituangkan dalam regulasi yang kuat seperti Keputusan Presiden (Keppres) atau Peraturan Presiden (Perpres).
Kedua, menambah kuota PLTS atap untuk mendorong partisipasi industri, serta komunitas dan masyarakat dalam transisi energi. Ketiga, menerapkan konsep penggunaan bersama jaringan transmisi (PBJT) untuk memperluas akses energi terbarukan bagi industri. Pelaksanaan PBJT akan menciptakan kondisi yang saling menguntungkan bagi pemerintah, industri, masyarakat, dan PLN.
Menurut Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, hal tersebut bisa meningkatkan bauran energi terbarukan nasional tanpa membebani APBN. Pelaksanaan PBJT juga menambah pendapatan dan utilisasi jaringan PLN, memperbaiki kualitas suplai listrik masyarakat di sekitar energi terbarukan yang dibangun, serta menjaga daya saing industri seiring menurunnya jejak karbon industri manufaktur.
Di sisi lain, pelaksanaan program 100 GW PLTS berpotensi mengantarkan Indonesia menjadi model penerapan transisi energi bagi negara berkembang yang menumbuhkan industri rantai pasok energi surya dan baterai. Kata dia, pemerintah perlu menetapkan kerangka institusi yang akan menyusun rencana pelaksanaan program 100 GW PLTS secara mendetail.
Jadi, pembagian peran kementerian/lembaga dalam program tersebut harus jelas. Rencana pelaksanaan program 100 GW PLTS perlu memastikan terbentuknya peluang untuk menciptakan permintaan energi surya yang mendorong terbentuknya rantai pasok industri dalam negeri.
"Selain itu perlu ada penyusunan program edukasi dan pelatihan yang menyiapkan tenaga kerja untuk sektor energi surya dan tenaga kerja di sektor yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi desa seperti pertanian, perikanan maupun industri kreatif dan UMKM,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Rabu (8/10/2025).
Baca juga: Eropa Jadi Pasar Paling Menarik untuk Investasi Energi Terbarukan
Terdapat enam strategi dalam 3-4 tahun ke depan untuk membangun kondisi yang memungkinkan (enabling condition) percepatan transisi energi memberikan dampak signifikan. Pertama, memperkuat edukasi, partisipasi dan kepercayaan publik untuk mendukung program transisi energi, termasuk program 100 GW PLTS.
Kedua, menyiapkan regulasi untuk proyek energi terbarukan yang layak dan bankable. Desain perizinan dan penyiapan proyek energi terbarukan harus dirancang supaya resiko pengembangan proyek rendah, cost of fund menurun, serta meningkatkan bankability. Ketiga, menyelaraskan instrumen keuangan dan pasar karbon agar sasaran dan peta jalan terarah.
Keempat, untuk mengantisipasi kebutuhan integrasi energi terbarukan, maka perlu perbaikan operasi sistem kelistrikan dan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan sektor kelistrikan. Kelima, mengembangkan ekosistem hidrogen hijau dengan bertumpu pada harga listrik yang murah, serta penguasaan dan efisiensi teknologi. Salah satunya melalui pemberian insentif pada sektor prioritas itu untuk menciptakan permintaan hidrogen.
Keenam, mengarusutamakan pengetahuan maupun keterampilan terkait pekerjaan hijau (green jobs) pada sistem pendidikan dan pelatihan. Anggota ICEF, Sripeni Inten Cahyani menggarisbawahi pentingnya peran Bappenas, Kemenaker, serta Kemdiktisaintek dalam identifikasi kebutuhan kompetisi maupun pengarusutamaan pendidikan dan pelatihan di sektor industri yang akan tumbuh dari proses transisi energi.
ICEF dan IESR mendesak pemerintah untuk memastikan kepemimpinan dalam proses transisi energi dengan menciptakan landasan legal yang kuat. Ini agar memberikan kepastian dan konsistensi kebijakan transisi energi dalam jangka panjang.
"Dalam periode pemerintahan Presiden Prabowo, perlu dilakukan penyelarasan kebijakan dan perencanaan energi, pembangunan, dan iklim. Beberapa UU terkait transisi energi seperti UU Energi Baru dan Energi Terbarukan, UU Ketenagalistrikan, butuh diakselerasi agar dapat mendukung quick wins dan enabling condition yang sudah dibangun,” ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya