KOMPAS.com - Wakil Direktur Climate Rangers Jakarta, Stanislaus Demokrasi Sandyawan, menemukan banyak kesamaan antara Indonesia dan Amerika Latin, terutama terkait masyarakat adat, saat diskusi dengan sekitar 80 anak muda dari berbagai negara di Desa Mupa, Mato Grosso, wilayah di jantung hutan Amazon, Brazil.
“Saat ini mereka melawan pemerintah dan perusahaan dalam mempertahankan wilayah adat. Serupa, kan, dengan yang dialami masyarakat adat di Indonesia,” ujar Stanislaus dalam keterangan tertulis, Kamis (9/10/2025).
Lawan utama masyarakat adat di Indonesia dan Brazil merupakan industri dari sektor perkebunan. Bedanya, masyarakat adat di Indonesia melawan perkebunan kelapa sawit. Sedangkan masyarakat adat di Brasil lebih banyak melawan perkebunan kedelai, yang hampir tidak pernah ditemukan di Indonesia.
Baca juga: Masyarakat Adat Jadi Penopang Ekonomi, Revisi UU Mendesak Disahkan
Namun, Brasil sudah memiliki Kementerian Masyarakat Adat, yang membuat pengakuan negara terhadap hak-hak adat relatif lebih kuat dibandingkan Indonesia. Kesamaan nasib inilah yang menumbuhkan rasa solidaritas lintas benua dan perjuangan masyarakat adat merupakan isu global yang harus diperjuangkan bersama.
Di dalam diskusi untuk merancang strategi menuju Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) pada November 2025 tersebut, kata dia, isu pendanaan menjadi fokus utama yang perlu didorong. Isu pendanaan iklim erat kaitannya dengan masyarakat adat, mengingat uang yang semestinya mengalir mendukung komunitas di garis depan justru sering berhenti di tingkat birokrasi atau organisasi besar.
“Aku kaget juga ketika tahu bahwa teman-teman sangat tertarik pada isu pendanaan iklim, karena ternyata banyak yang belum memahami benar cara untuk mendapatkan pendanaan tersebut. Apalagi, isu pendanaan iklim memang kompleks,” tutur Stanislaus.
Selain pendanaan iklim, hak masyarakat adat untuk mengatur wilayahnya sendiri (territorial autonomy) dan kompensasi atas ketidakadilan sejarah yang mereka alami (historical reparation) juga menjadi isu yang disorot.
Menurut Stanislaus, diskusi dalam rangka konsolidasi tersebut bertujuan untuk aksi nyata yang diharapkan mencuri perhatian dunia saat COP 30 berlangsung.
Baca juga: Walhi: Wacana PSN di Merauke Picu Konflik dan Tak Hormati Masyarakat Adat
“Di COP 30 kami berusaha merebut ruang dan perhatian media dengan menggelar aksi ‘keributan’ yang ramai dan kreatif. Misalnya, fashion show yang memamerkan baju adat atau pakaian yang mewakili wilayah masing-masing. Kalau aksi tersebut tampak bagus secara visual dan narasi, pasti kami bisa merebut perhatian media. Sementara itu, untuk melibatkan massa lebih besar, ada gagasan untuk menggelar long march, sekaligus mengangkat isu yang sedang terjadi di Brazil," ucapnya.
Kata dia, strategi tersebut dipilih karena ruang formal di forum global seringkali terbatas untuk masyarakat sipil. Aksi kreatif dianggap sebagai cara efektif untuk menarik sorotan media dan membuka akses ke meja perundingan. Stanislaus menjadi salah satu asal Asia dalam diskusi dalam rangka konsolidasi jelang COP 30, yang sebagian besar dihadiri perwakilan aktivis dari Amerika Latin seperti Meksiko, Panama, dan Ekuador.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya