Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Walhi: Wacana PSN di Merauke Picu Konflik dan Tak Hormati Masyarakat Adat

Kompas.com, 8 Oktober 2025, 07:31 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai wacana pelepasan hutan seluas 486.939 hektare untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan merupakan bentuk kekerasan terbuka oleh negara.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menyampaikan di dalam area hutan tersebut terdapat 24 kampung milik masyarakat adat.

Kampung itu antara lain Kampung Bibikem, Kampung Yulili, Kampung Wogekel, Kampung Wanam, Kampung Woboyu, Kampung Dodalim, Kampung Dokib, Kampung Wamal, Kampung Yowid, Kampung Welbuti, Kampung Sanggase, Kampung Alatep, Kampung Alaku, Kampung Dufmira, Kampung Iwol, Kampung Makalin, Kampung Es Wambi, Kampung Maghai Wambi, Kampung Onggari, Kampung Domande Kampung Kaipursei, Kampung Zanegi, dan Kampung Kaliki.

“Pernyataan Menteri ATR/BPN terkait tidak ada yang bermukim di wilayah tersebut adalah sebuah kesalahan besar, sekaligus menunjukkan sikap tidak hormatnya Menteri ATR/BPN pada masyarakat adat Papua," ujar Uli dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).

Baca juga: Ahli IPB Beberkan Alasan PSN di Pulau Rempang Harus Dievaluasi

Pihaknya mencatat, lahan seluas 265.208 ha di Merauke termasuk hutan alam. Pemerintah berencana mengubahnya menjadi konsesi kebun tebu untuk etanol, cetak sawah baru, dan perkebunan sawit untuk B50. Uli menyebut, langkah ini justru akan melepaskan emisi 140 juta-299 juta ton CO2.

“Jadi bisa dibayangkan jika 2 juta hektar hutan Papua akan diubah menjadi konsesi pangan dan energi, emisi yang dilepaskan akan jauh lebih besar, dan ini berkontradiksi dengan komitmen iklim Indonesia," papar Uli.

"Indonesia akan mempermalukan dirinya sendiri jika rencana ini tetap dijalankan," imbuh dia.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Peuki, menyatakan pelepasan hutan juga berpotensi memperparah konflik agraria di Papua Selatan.

Pasalnya, PSN dan pelepasan kawasan hutan tidak didasarkan pada persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah. Mereka disebut menolak kehadiran PSN lantaran takut terusir dari wilayah adatnya.

"Proyek pangan skala besar ini justru akan menghancurkan sumber pangan lokal masyarakat adat, padahal mereka menggantungkan hidup pada sagu. Hasil hutan dan perikanan yang semuanya itu ada di hutan mereka,” tutur Maikel.

Selain itu, pelepasan hutan berisiko merusak ekosistem Merauke sebagai habitat satwa endemik seperti kasuari, kanguru pohon, maupun cenderawasih.

“Penghancuran hutan ini sama artinya dengan penghancuran identitas masyarakat adat Papua, ini sebuah kekerasan terbuka yang dilakukan oleh negara," jelas Maikel.

Baca juga: KPA: 3.406 Desa Sentra Pangan Diklaim Kawasan Hutan, Petani Terhimpit

Ancaman Deforestasi

Adapun saat ini Papua tengah menghadapi ancaman deforestasi serius. Menurut Walhi, selama tiga dekade terakhir Papua kehilangan tutupan hutan primer sampai 688.000 ha. Deforestasi pada 2022-2023 mencapai 552.000 ha. Artinya, Papua menyumbang 70 persen dari total deforestasi nasional.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, pemerintah tengah mendorong percepatan pembangunan kawasan swasembada pangan atau food estate di Wanam, Merauke, Papua Selatan.

"Semua disiapkan agar kawasan ini berdiri di atas landasan prinsip pemberdayaan, kearifan, dan keberlanjutan. Kawasan Wanam ini akan menjadi penopang kemandirian," ucap Zulhas di Kantor Kemenko Pangan, Jakarta, Senin (29/9/2025).

Ia menuturkan, food estate Wanam ditargetkan menjadi penopang kemandirian pangan, energi dan air. Sebab selain menyediakan bahan pangan pokok seperti beras, kawasan ini akan ditanami bahan baku etanol dan biodiesel, seperti tebu, singkong, dan kelapa sawit.

Wanam diproyeksikan sebagai pusat cadangan pangan nasional, dengan cetak sawah seluas 1 juta hektar. Pembangunannya mencakup program biodiesel, penguatan industri pertahanan, bandara, pelabuhan, jaringan irigasi, hingga jalan penghubung Wanam-Boven Digoel sepanjang 130 kilometer (km).

Baca juga: Food Estate Merauke Disebut Berisiko Tingkatkan Emisi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Ketika Indonesia Sibuk Menyelamatkan Bisnis, Bukan Bumi
Ketika Indonesia Sibuk Menyelamatkan Bisnis, Bukan Bumi
Pemerintah
Iran Alami Kekeringan Parah, 14 Juta Warga Teheran Berisiko Direlokasi
Iran Alami Kekeringan Parah, 14 Juta Warga Teheran Berisiko Direlokasi
Pemerintah
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
LSM/Figur
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Pemerintah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
LSM/Figur
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Pemerintah
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Pemerintah
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
LSM/Figur
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Pemerintah
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Swasta
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Swasta
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
Pemerintah
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Swasta
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Pemerintah
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau