KOMPAS.com - Copernicus Climate Change Service menyatakan September tahun ini menjadi bulan September terpanas ketiga secara global yang pernah tercatat.
Ini menunjukkan bahwa suhu rata-rata dunia terus bertahan pada level yang mendekati rekor tertinggi selama satu bulan lagi.
"Kondisi suhu global masih sama, ditandai dengan suhu daratan dan permukaan laut yang terus tinggi. Hal ini mencerminkan dampak berkelanjutan dari penumpukan gas rumah kaca di atmosfer," terang Samantha Burgess, Kepala Strategi Iklim Copernicus, dikutip dari CNA, Kamis (9/10/2025).
Suhu pada September tahun ini tercatat 1,47 derajat C di atas suhu rata-rata yang dicatat antara tahun 1850-1900.
Baca juga: Dalam Tiga Dekade, Hari Sangat Panas di Kota Global Melonjak 25 Persen
Periode tersebut dijadikan patokan untuk mendefinisikan masa pra-industri, yaitu sebelum intervensi manusia memiliki dampak besar pada perubahan iklim.
Kenaikan bertahap seperti itu mungkin terlihat kecil. Akan tetapi, para ilmuwan memperingatkan bahwa setiap peningkatan kecil dalam suhu global akan semakin mengganggu keseimbangan Bumi, yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya cuaca ekstrem dan memicu titik kritis iklim yang destruktif.
Peningkatan suhu global yang berkelanjutan ini disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh aktivitas manusia. Emisi ini sebagian besar bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil secara masif sejak era Revolusi Industri.
Para peneliti memprediksi bahwa tahun 2025 akan tercatat sebagai tahun terpanas ketiga, melanjutkan rekor tahun 2024 dan 2023. Hal ini terlihat dari data bahwa suhu dalam beberapa bulan terakhir nyaris menyamai rekor yang tercipta selama periode panas ekstrem tersebut.
Negara-negara di dunia menghadapi situasi nyata ini saat mereka dijadwalkan berkumpul di Brasil bulan depan untuk perundingan iklim PBB tahunan yang bertujuan merumuskan tanggapan bersama terhadap masalah pemanasan global.
Baca juga: Studi: Bumi Makin Panas, Bandara Makin Bising
Sementara itu, negara-negara dengan ekonomi besar tidak memangkas emisi cukup cepat untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim dan banyak dari mereka masih menyetujui proyek minyak, batu bara, dan gas baru.
Lebih lanjut, kesimpulan ini didapat setelah Copernicus memanfaatkan data miliaran pengukuran yang dikumpulkan dari satelit, kapal laut, pesawat terbang, dan stasiun cuaca untuk mendukung perhitungan dan analisis iklimnya.
Meskipun data Copernicus baru tersedia sejak tahun 1940, sumber data iklim lain seperti inti es, lingkaran tahun pada pohon, dan kerangka karang memungkinkan para ilmuwan menarik kesimpulan berdasarkan bukti dari masa lampau yang jauh lebih tua.
Berdasarkan bukti tersebut, para ilmuwan meyakini bahwa periode saat ini merupakan periode terpanas yang dialami Bumi dalam 125.000 tahun terakhir.
Baca juga: Langkah Mundur Aksi Iklim, Aliansi Perbankan Net-Zero Global Bubar
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya