Ketika ditanya seberapa besar mereka merasakan dampak langsung dari kerusakan lingkungan, seperti banjir atau longsor, sebagian besar responden menjawab “tidak pernah”.
Namun, ketika ditanya secara prospektif, sebagian besar menyatakan khawatir terhadap dampak perubahan iklim di masa depan.
“Ini menunjukkan dua hal. Pertama, bisa jadi mereka kurang memiliki literasi lingkungan untuk mengenali tanda-tanda krisis di sekitarnya. Kedua, ada helplessness—rasa tidak berdaya—yang membuat mereka memilih untuk tidak peduli,” tambah Faisal.
Paradoks itu, lanjut dia, memperlihatkan bahwa pendidikan lingkungan tidak cukup berhenti pada informasi, tetapi perlu menyentuh aspek emosional dan sosial agar anak muda merasa punya peran dalam solusi.
YSI 2025 juga menyoroti hubungan antara pekerjaan, gaya hidup, dan tingkat keberlanjutan.
Kaum wirausahawan dan freelancer cenderung memiliki skor keberlanjutan lebih tinggi.
Baca juga: Surabaya hingga Jakarta Paparkan Strategi Kota Berkelanjutan di Lestari Summit 2025
Alasannya, mereka memiliki waktu luang lebih banyak yang digunakan untuk aktivitas, seperti bersepeda, berlari, atau berkegiatan di alam terbuka.
Selain itu, responden yang sudah menikah atau tinggal bersama pasangan juga menunjukkan indeks keberlanjutan lebih tinggi.
“Ketika seseorang mulai hidup bersama dan harus merawat orang lain, muncul kesadaran baru untuk menjaga lingkungan di sekitarnya. It takes two to care. Dua orang yang hidup bersama cenderung lebih sadar akan pentingnya keberlanjutan,” tutur Faisal.
Temuan lain yang menarik adalah hubungan negatif antara waktu penggunaan media sosial dengan skor keberlanjutan.
“Semakin lama waktu yang dihabiskan untuk doom scrolling, semakin rendah tingkat mindfulness dan keterhubungan dengan lingkungan sekitar,” kata Faisal.
Baca juga: Lestari Summit & Awards 2025: Buah-buahan Lokal dan Coffee Cup Gratis untuk Peserta
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana disrupsi atensi menjadi tantangan baru bagi generasi muda. Di tengah banjir informasi politik, ekonomi, dan sosial, fokus terhadap isu lingkungan sering kali terpinggirkan.
Saat ini, generasi muda menghadapi begitu banyak distraksi. Mereka perlu ruang aman dan komunitas yang bisa mengembalikan rasa koneksi dengan alam.
Di sisi lain, keterlibatan komunitas terbukti memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan perilaku berkelanjutan.
Program Youth Activist WWF, misalnya, berhasil menumbuhkan kebiasaan positif, seperti membawa botol minum sendiri, memilah sampah, atau menginisiasi kampus bebas plastik.
Menurut Faisal, pengalaman kolektif seperti itu mampu memperkuat rasa tanggung jawab sosial sekaligus menumbuhkan optimisme terhadap perubahan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya