KOMPAS.com - Teknologi grafting atau sambung batang pada tomat bisa menjadi solusi adaptasi pertanian di tengah krisis iklim yang makin tak menentu.
Metode ini menyatukan dua jenis tanaman - batang bawah yang tahan stres lingkungan dengan batang atas penghasil buah berkualitas tinggi - untuk mencegah gagal panen akibat banjir, kekeringan, maupun serangan hama.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Hortikultural ORPP BRIN, Evy Latifah, menjelaskan bahwa teknologi ini sangat bermanfaat terutama pada kondisi ekstrem.
"Mengingat tomat grafting ini biayanya lebih mahal daripada tomat tanpa grafting, maka lebih baik dilakukan saat terjadi risiko seperti banjir, musim hujan, terutama off season (waktu tanam di kondisi iklim yang kurang menguntungkan) yang hampir selalu mengalami kegagalan," ujar Evy, Sabtu (11/10/2025).
Tomat merupakan komoditas hortikultura bernilai ekonomi tinggi dan kaya nutrisi, termasuk vitamin A, B, C, serta mineral esensial. Namun, fluktuasi harga tomat di Indonesia kerap terjadi karena tanaman ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Dengan teknologi grafting, tomat bisa disambungkan dengan batang bawah (rootstock) dari tanaman yang lebih tahan terhadap krisis iklim. Evy merekomendasikan terung sebagai rootstock karena memiliki ketahanan alami terhadap kondisi ekstrem.
Baca juga: Plastik Marak dalam Pertanian, Serasah Tersisih Meski Lebih Ramah Lingkungan
Beberapa varietas terung yang bisa digunakan antara lain TS 03, EG 195, EG 219, dan EG 203, hasil pengembangan dari pusat-pusat riset sayuran dunia. Untuk varietas lokal, petani dapat memanfaatkan terung gelatik (Solanum melongena) dan takokak (Solanum torvum).
Di balik potensinya yang besar, keberhasilan adopsi teknologi grafting tomat tetap bergantung pada kemampuan petani membaca pasar. Pasalnya, biaya produksinya 30–50 persen lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Namun, Evy menegaskan biaya ini bisa ditekan dengan penggunaan varietas lokal yang lebih murah dan hasil panen yang lebih tahan lama.
"Biaya produksi 30-50 persen bisa diminimalisir lagi dengan menggunakan batang bawah yang murah dari varietas lokal. Sebenarnya, teknologi ini layak untuk petani-petani kecil di Indonesia, cuma kemarin di Kediri sulitnya itu karena petani kadang sulit memprediksi kapan (produksi) tomat melimpah, kapan kondisi off season ataupun saat harga tinggi (lainnya)," tutur Evy.
Ia menambahkan, waktu penerapan teknologi grafting menjadi kunci. Jika dilakukan saat produksi melimpah, harga bisa jatuh dan merugikan petani. Sebaliknya, ketika diterapkan saat harga tinggi akibat kelangkaan pasokan, petani bisa meraup keuntungan lebih besar.
"Jadi, saat mencoba grafting tomat diaplikasikan di Kediri, petaninya sempat agak kecewa karena kok harganya pas turun. Kalau pas harga tinggi itu tentunya keuntunganya bisa berlipat," ucapnya.
Baca juga: Tanah Terdegradasi, Iklim Memburuk: Pertanian Ramah Lingkungan Jadi Solusi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya