KOMPAS.com – Transisi menuju kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kini menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia.
Lebih dari sekadar agenda lingkungan, elektrifikasi transportasi membuka peluang investasi baru, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan menekan subsidi energi.
Pesan ini mengemuka dalam sesi tematik “Memaksimalkan Manfaat Ekonomi dan Sosial dari Transisi Kendaraan Listrik” di Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025, Jakarta minggu ini.
Analisis INDEF menunjukkan, hampir 20 persen pengeluaran non-makanan rumah tangga di Indonesia dialokasikan untuk kendaraan, mulai dari pembelian, perawatan, pajak, hingga bahan bakar.
Karena itu, transisi EV berpotensi menghadirkan manfaat ganda, menekan biaya mobilitas masyarakat sekaligus mengurangi beban fiskal dari subsidi energi konvensional.
“Indonesia kini memasuki tahap di mana hilirisasi tidak lagi hanya soal menambah nilai ekspor, tetapi membangun ekosistem industri yang berkelanjutan dan terintegrasi dari hulu ke hilir," ujar Ahmad Faisal Suralaga, Direktur Strategi dan Tata Kelola Hilirisasi Kementerian Investasi/BKPM kepada Kompas.com, Sabtu (11/10/2025).
"Lebih dari 10 ribu tenaga kerja telah terserap dari proyek-proyek yang sudah berjalan,” imbuhnya.
Agar makin berdampak, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang cermat.
Baca juga: Konsumsi BBM Lebaran 2025 Turun dari 2024, KESDM: Kendaraan Listrik Naik
"Penerapan cukai emisi dapat menjadi strategi fiskal yang berkelanjutan karena mampu mengkompensasi bahkan melebihi potensi kehilangan pajak tahunan akibat insentif kendaraan listrik, hingga mencapai 111 persen. Selain itu, struktur tarif cukai ini akan menciptakan sistem yang lebih adil karena memberi disinsentif bagi kendaraan tinggi emisi tanpa membebani pengguna kendaraan rendah emisi,” urainya.
Temuan INDEF mencatat potensi beban fiskal kendaraan berbahan bakar fosil mencapai Rp 308 triliun per tahun, atau 95 persen lebih besar dibanding potensi penerimaan negara yang hilang akibat insentif kendaraan listrik sebesar Rp 14,7 triliun.
Sementara itu, Deputi Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Dimas Muhamad, mengingatkan bahwa hilirisasi adalah alat, bukan tujuan.
"Ke depannya harus digerakkan bukan oleh apa yang ada di bawah tanah Indonesia tapi inovasi manusia, yaitu riset, teknologi, dan kreativitas.”
Dari sisi publik, elektrifikasi transportasi dapat menekan biaya operasional bus hingga 30 persen.
“Penghematan ini memungkinkan kota memperluas rute dan menambah armada,” kata Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara ITDP.
Adapun industri motor listrik diproyeksikan menyerap lebih dari 150 ribu tenaga kerja pada 2030.
“Transisi kendaraan listrik bukan hanya langkah menuju nol emisi, tetapi jalan menuju ekonomi hijau yang memperkuat kemandirian bangsa,” tegas R. Hanggoro Ananta dari AISMOLI.
Baca juga: Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya