KOMPAS.com - Indonesia membutuhkan undang-undang penanganan krisis iklim yang komprehensif, bukan sekadar tambal sulam kebijakan sektoral.
Krisis iklim bukan isu teknis, melainkan permasalahan struktural yang menuntut tanggung jawab negara melalui kebijakan dan undang-undang (UU) yang tegas untuk adaptasi dan mitigasi.
"Hampir 273 juta masyarakat Indonesia itu menghabiskan hidupnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Artinya, ada 273 juta penduduk yang menjadi calon pengungsi iklim demikian, ketika kemudian muka air laut ini terus meninggi sebagai dampak krisis iklim," ujar Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian dalam webinar, Sabtu (11/10/2025).
Selama ini, Indonesia sudah memiliki beberapa regulasi terkait iklim, seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang perdagangan karbon dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun, keduanya belum cukup kuat untuk menjawab kompleksitas ancaman krisis iklim.
Yang dibutuhkan adalah RUU Penanganan Krisis Iklim yang menjadi payung hukum nasional, mengintegrasikan seluruh aspek mitigasi, adaptasi, keadilan, dan perlindungan kelompok rentan.
Uli menilai rancangan undang-undang yang kini dibahas di parlemen masih belum menjawab kebutuhan itu.
Baca juga: Krisis Iklim, Pulau Kecil Tenggelam dan Perlu Mitigasi Berbasis Lokal
"Draft yang disodorkan oleh DPD dan DPR memakai terminologi RUU Pengelolaan Perubahan Iklim. Kami masih melihat substansi dari RUU ini masih dalam konteks bagaimana bisa memanjemen krisis. Terminologi RUU Pengelolaan Perubahan Iklim ini bahaya karena logika yang dipakai adalah bagaimana kemudian krisis ini bisa dikelola. Artinya, masih berbasis bisnis seperti biasa," tutur Uli.
Legal Specialist Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, menegaskan pentingnya pendekatan Framework Law atau Undang-Undang Pokok (Umbrella Law) agar penanganan krisis iklim tidak terpecah dan hanya fokus pada isu perdagangan karbon.
"Kami mendorong UU terkait iklim yang melibatkan semua sektor terkait. Krisis yang melibatkan banyak kelompok dan obyek. Kelompok rentan, obyeknya ada di pesisir, hutan, laut, dan sebagainya. Tentu saja pendekatannya harus komprehensif. Jangan sampai penanganan iklim hanya berkutat pada masalah perdagangan karbon saja, masalah lembaga iklim saja, tapi enggak, justru enggak menyelesaikan masalah," ucapnya.
RUU tersebut, kata Sadam, harus berlandaskan prinsip keadilan iklim dan tanggung jawab bersama yang berbeda bobotnya (common but differentiated responsibility), agar pihak yang paling banyak berkontribusi terhadap krisis menjadi yang paling bertanggung jawab.
"Jangan sampai yang, yang berkontribusi itu perusahaan besar, tapi yang bertanggung jawab justru masyarakat-masyarakat yang hidup di pesisir yang merasakan dampak naiknya permukaan air laut," ujar Sadam.
Ia juga mengingatkan agar RUU tersebut tidak memuat “solusi palsu” yang justru memperparah ketimpangan.
"Jangan sampai ketika berbicara perlindungan hutan, justru menjadikan hutan untuk perdagangan karbon, karena justru ketika hutan jadi aset untuk perdagangan karbon, masyarakat enggak boleh masuk ke situ, karena menjadi area konsesi," tutur Sadam.
Krisis iklim bukan sekadar urusan cuaca, tetapi menyangkut keselamatan jutaan warga negara. Karena itu, parlemen dan pemerintah harus segera merumuskan RUU Penanganan Krisis Iklim yang berkeadilan, komprehensif, dan berpihak pada rakyat, bukan bisnis.
Baca juga: Ahli Peringatkan, Pembangunan Pulau Padar Picu Erosi dan Ancam Komodo
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya