KOMPAS.com - Legalitas hukum tidak menjadi satu-satunya jaminan keberhasilan operasional industri di Indonesia.
Legitimasi sosial yang diperoleh dari kepercayaan masyarakat setempat juga penting untuk menjamin keberlangsungan bisnis, proyek industri, dan infrastruktur.
Tanpa legitimasi sosial dari masyarakat, operasi industri berisiko menghadapi konflik, penolakan, dan kegagalan pelaksanaan di lapangan.
Chairman Kiroyan Partners, Noke Kiroyan mengingatkan, pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat setempat secara utuh akan gagal menciptakan dampak jangka panjang.
Social License to Operate (SLO) — konsep kepercayaan publik sebagai syarat utama keberlanjutan industri — tidak diperoleh melalui keahlian teknis atau pendekatan ekonomi belaka.
Untuk mendapatkan SLO, kata dia, juga perlu kemampuan diplomasi, komunikasi lintas lapisan sosial, serta kepemimpinan bisnis yang adaptif.
"Membangun kepercayaan masyarakat harus dimulai dari identifikasi pemangku kepentingan secara tepat, dilanjutkan dengan komunikasi terbuka dan konsisten, serta sikap perusahaan yang tidak sekadar menjalankan program tapi juga menunjukkan integritas dan niat baik secara nyata,” ujar Noke dalam keterangan tertulis, Selasa (14/10/2025).
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan, prinsip persetujuan awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent/FPIC) penting untuk keberlanjutan industri.
Sudah sepatutnya masyarakat setempat diberikan ruang untuk menyampaikan persetujuan atau keberatan atas sebuah proyek yang berdampak terhadap kehidupan mereka.
Baca juga: Tantangan Baru Brand Mewah: Isu ESG dan Transparansi yang Mendesak
Menurut Nadia, komunikasi yang mendalam dan pelibatan masyarakat setempat sedari awal merupakan prasyarat mutlak untuk menciptakan rasa memiliki.
"Tanpa proses bottom-up yang inklusif, proyek industri atau pembangunan akan senantiasa menghadapi perlawanan sosial. SLO menjadi kunci agar proyek tidak hanya sah secara hukum, melainkan juga diterima masyarakat," tutur Nadia.
Di sisi lain, banyak program Corporate Social Responsibility (CSR) dan praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) di lapangan masih bersifat transaksional. Juga banyak CSR dan ESG di lapangan yang tidak menciptakan dampak jangka panjang bagi masyarakat.
Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Dody Prayogo mengkritik, kesenjangan antara teori dan praktik CSR maupun ESG di lapangan, khususnya dalam pengukuran dampak sosial serta tata kelola. Ia mengingatkan bahwa keberlanjutan bukanlah konsep statis, melainkan proses dinamis yang menuntut keadilan sosial dan adaptasi berkelanjutan.
“Kita terlalu fokus mengukur dampak finansial dan lingkungan, padahal yang paling sulit, sekaligus paling penting, adalah dampak sosial dan perubahan perilaku,” ucapnya.
Menurut Dody, pelaporan ESG rawan menjadi ajang greenwashing atau praktik manipulasi perusahaan untuk menciptakan citra ramah lingkungan. Maka dari itu, pelaporan ESG harus disertai proses pemberian keyakinan (assurance) dan pengukuran dampak sosial yang komprehensif.
Jika tidak demikian, pelaporan ESG akan menjadi ajang greenwashing dan upaya keberlanjutan hanya berhenti di level administrasi. Ini karena diukur dari seberapa besar dana disalurkan, bukan seberapa besar perubahan yang diciptakan. Untuk mencapai keberlanjutan sesungguhnya, kata dia, Indonesia perlu meninggalkan pendekatan seremonial dan beralih pada penyelesaian permasalahan sosial yang sistematis.
Ia menganggap, permasalahan tata kelola perusahaan dan kebutuhan akan kepemimpinan yang berorientasi pada tanggung jawab sosial menjadi sangat krusial di masa kini maupun masa depan.
"Perlu adanya perubahan pola pikir bisnis agar dunia usaha tidak lagi melihat masyarakat sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai mitra dalam pembangunan berkelanjutan," ujar Dody.
Baca juga: CSR Tambang Wajib Tepat Sasaran, Bukan Sekadar Bagi-Bagi Bantuan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya